Senin, 22 Oktober 2018

RESUME PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Negara Hukum
Negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang berpaham konstitusionalisme, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara hukum. Supremasi hukum harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karena itu di negara hukum, hukum harus tidak boleh mengabaikan “rasa keadilan masyarakat”.
Negara-negara komunis atau negara otoriter memiliki konstitusi tetapi menolak gagasan tentang konstitusionalisme sehingga tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum dalam arti sesungguhnya. Jimly Asshiddiqie (dalam Dwi Winarno, 2006) menyatakan bahwa negara hukum adalah unik, sebab negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum. Dikatakan sebagai konsep yang unik karena tidak ada konsep lain. Dalam negara hukum nantinya akan terdapat satu kesatuan sistem hukum yang berpuncak pada konstitusi atau undang-undang dasar.
Negara tidak campur tangan secara banyak terhadap urusan dan kepentingan warga negara. Namun seiring perkembangan zaman, negara hukum formil berkembang menjadi negara hukum materiil yang berarti negara yang pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur tangan dalam urusan warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam upaya membangun kesejahteraan rakyat.

B.     Hukum Tata Negara
Kekuasaan suatu negara beserta aspek-aspek yang tertuang dan berkaitan dengan organisasi negara membutuhkan suatu aturan yang mengatur organisasi kekuasaan negara tersebut, pengaturan itulah yang dikatakan sebagai hukum tata negara.
Dengan  adanya hubungan tersebut membuat hukum ketatanegaraan memiliki istilah dilingkungannya yang dijabarkan sebagai berikut:
Di Belanda umumnya memamakai istilah istilah “staatsrech” istilah tersebut dibagi menjadi dua bagian yang dikenal dengan staatsrech in ruimere zin (dalam arti luas) dan staatsrech In engere zin (dalam arti luas). Staatsrech in ruimere zin hanya diartikan sebagai  Hukum Negara. Sedangkan staatsrech in engere zin adalah hukum yang membedakan Hukum Tata Negara dari Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Usaha Negara atau Hukum Tata Pemerintah.
Di Inggris pada umumnya memakai istilah “Contitusional Law”, alasan penggunaan istilah tersebut adalah dalam Hukum Tata Negara unsur konstitusi yang lebih menonjol.
Di Perancis orang mempergunakan istilah “Droit Constitutionnel” yang di lawankan dengan “Droit Administrative”, dimana titik tolaknya adalah untuk membedakan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Aministrasi Negara.










BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA

A.    Pengertian Perbandingan Hukum Tata Negara
Ada dua istilah yang digunakan dalam lingkup ilmu perbandingan hukum tata negara yaitu, perbandingan hukum dan hukum perbandingan. Penggunaan istilah yang berbeda-beda dalam lingkungan dunia ilmu pengetahuan hukum di Indonesia ini merupakan dampak dari  dipergunakannya istilah di Eropa Kontinental.
Untuk mengetahui makna perbandingan hukum tata negara kita harus memahami istilah perbandingan hukum atau hukum perbandingan.

B.     Hubungan Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum Tata Negara
Untuk istilah ilmu hukum tata negara ini disingkat HTN sering dipakai istilah yang berlainan. Umpamanya di negara Belanda disebutkan Staatsrecht, di negara Jerman Verfassungsrecht, di tanah Inggris Cosntitusional-law. Sedangkan di negara Prancis menurut sarjana yang bernama Maurice Duverger di dalam bukunya yang berjudul Droit Constitutionnel et institutions Politiques, disebut droit constitutionnel.
Selanjutnya menurut Prof. Usep Ranawidjaja, S.H. dalam tulisannya “Himpunan kuliah hukum tata negara Indonesia”. Istilah hukum tata negara merupakan hasil terjemahan dari bahasa Belanda Staatsrecht. Sudah menjadi kesatuan pendapat di antara para sarjana hukum Belanda untuk membedakan antara “hukum tata negara dalam arti luas” (staatsrecht in ruime zin), dan “hukum tata negara dalam arti sempit” (staatsrecth in engezin), dan untuk membagi hukum tata negara dalam arti luas itu atas dua golongan hukum, yaitu:
1.      Hukum tata negara dalam arti sempit atau untuk singkatnya  dinamakan hukum tata negara
2. Hukum tata usaha negara

Hukum tata usaha negara atau disingkat HTUN sebagai hasil alih bahasa dari bahasa Belanda seringkali mempunyai istilah yang berlainan. Umpamanya di negara Belanda ada yang menyebutnya administratief recht ada pula yang menyebutnya Bestuurs recht seperti G.A. Van Poelje dan G. J. Wiarda.
Di negara Jerman disebut Verwaltungsrecht, di tanah Perancis droit administratief, sedangkan di Indonesia ada yang menyebutnya “hukum tata usaha negara’ seperti di kalangan Universitas Negeri Padjajaran, akan tetapi dikalangan Universitas Negeri Gajah Mada disebutnya “hukum tata pemerintahan,”, sedangkan Prof. Dr. E. Utrech, S.H. menyebutnya ‘Hukum Administrasi Negara”, dalam undang-undang dasar sementara republik Indonesia (UUDSRI) tahun 1950 pada pasal 108 dipakai istilah “hukum tata usaha”, dan disamping itu Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam majalah hukum tahun 1952 nomor 1 mengintroduksi istilah “Hukum Tata Usaha Pemerintahan”.
Maka dengan demikian jelaslah bahwa ilmu negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendiri-sendiri pokok negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis yang bersifat umum untuk hukum tata negara. Oleh karena itu agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya sistem hukum ketatanegaraan sesuatu negara tertentu, sudah sewajarnyalah kita harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan segala hal ikhwalnya secara umum tentang negara yang didapat dalam ilmu negara.
Menjadi teranglah bahwa dalam rangka perhubungan ini ilmu negara merupakan suatu pelajaran pengantar dan ilmu dasar pokok bagi pelajaran hukum tata negara, karenanya hukum tata negara tidak dapat dipelajari secara ilmiah dan teratur sebelum terlebih dahulu dipelajari pengetahuan tentang pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok dari pada negara umumnya. Maka ilmu negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis untuk hukum tata negara yang positif. Hukum tata negara merupakan penerapan atau pelarapan di dalam kenyataan-kenyataan konkret dari bahan-bahan teoritis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Karenanya ilmu hukum tata negara itu mempunyai sifat praktis applied science yang bahan-bahannya diselidiki, dikumpulkan dan disediakan oleh pure science ilmu negara.

Ketiga ilmu ini mempunyai obyek yang sama, yaitu negara. Pertanyaannya adalah, dimanakan letak perbedaan antara Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Hukum Tata Negara dan Ilmu Negara? Jawabannya adalah meskipun obyek penyelidikan ketiga ilmu pengetahuan tersebut sama, namun disamping tugas yang berbeda, ketiga ilmu tersebut meninjau gejala-gejala negara dari sudut yang berlain-lainan.
Obyek ilmu hukum tata negara adalah negara tertentu, khususnya hanya mengenai susunan hukum tata negaranya (het staatsrechtelijk bestel). Sehingga dapatlah dimengerti mengapa biasanya ilmu hukum tata negara dimulai dalam bentuk pemberian komentar, yaitu menafsirkan kaidah-kaidah hukum berdasarkan tata-urutannya dan penyelidikannya hanya terbatas pada negara tertentu saja.
Obyek ilmu perbandingan hukum tata negara adalah bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan, ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal tersebut berubah, hilang dan sebagainya, yang dapat diketahui dengan cara menganalisis secara metodis dan menetapkannya secara sistematis.



BAB III

STRUKTUR DAN POLA KETATANEGARAN DALAM BERBAGAI ASPEK
A.      Struktur ketatanegaraan berdasarkan Asas Demokrasi san Diktator
Setiap negara memberikan arti dan pengertian berbeda terhadap demokrasi. Sekalipun demikian, untuk menetukan suatu negara menganut asas demokrasi atau tidak, ada beberapa ukuran atau syarat tertentu. International commission of jurist dalam konferesinya di Bangkok pada tahun 1965 menyebutkan bahwa negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagi representative government, yaitu “a government deriving its power and authority from the people, which power and authority are exercise through  representative freely chosen and responsible to them.[1]
Negara yang berdasarkan asas-asas demokrasi harus memiliki kekuasaan peradilan yang bebas dan tidak memihak. Hal ini berarti para hakim sebagai pelaksana kekuasaan peradilan tidak boleh memperoleh tekanan atau pengaruh apa pun dari kekuatan lainnya, baik kekuatan itu resmi seperti pemerintahan dan lembaga legislatif maupun tidak resmi seperti kekuasaan sosial politik yang terdapat dalam masyarakat.
Selain itu, negara yang menganut asas-asas demokrasi memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat dan bersarikat. Kebebasan bersarikat mengandung arti bahwa setiap warga negara dapat bersatu dalam satu organisasi yang bersifat politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul ini disertai kebebasan untuk menyatakan pendapat, baik secara tertulis maupun secara lisan. Kebebasan berserikat dan berkumpul mengandung arti bahwa suatu negara memiliki lebih dari satu partai politik.
Selain negara yang menganut asas-asas demokrasi, ada juga negara yang menganut asas diktator. Pada negara diktator tidak ada kebebasan bersarikat dan berkumpul, apalagi kebebasan bersatu dalam satu organisasi yang memiliki tujuan politik. Didalam negara diktatir hanya ada satu partai politik sehingga organisasi partai politik tersebut dimasukkan kedalam mekanisme pemerintahan.



B.       Stuktur ketatnegaraan menurut C.F Strong
Pola ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles adalah setiap negara bergerak melalui apa yang dinamakan cycle of revolution, yaitu :
1.         .setiap negara mula-mula dikuasai oleh hanya seorang saja (the rule of man) yang disebut monarchy;
2.         bahwa namun kemudian, ada saatnya dimana orang yang mempunyai sifat-sifat yang baik untuk memegang kekuasaan sudah tidak ada dan akhirnya digantikan oleh orang yang lebih mementingkan kekuasaan daripada kepentingan rakyatnya (tyranny/despotism);
3.         selanjutnya si tiran atau despoot tersebut akhirnya menghadapi suatu tantangan serta oposisi dari suatu kelompok orang yang mempunyai sifat-sifat baik dan ingin memperbaiki kehidupan rakyatnya yang disebut aristokrasi;
4.         saatnya semangat artistokrasi hilang dan muncullah sekelompok orang yang menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang untuk kepentingan kelompok itu sendiri dan terjadi korupsi dikalangan penguasa tersebut (oligarchy);
5.         akhirnya rakyat sangat marah dan menentang dan menggulingkan penguasa korup tadi dan muncullah pemerintahan yang disebut demokrasi, yaitu pemerintahan oleh banyak orang;
6.         pada akhirnya cycle of revolution ini dipatahkan dengan tipe pemerintahan yang disebut polity.[2]
Pola ketatanegaraan tersebut digambarkan oleh Plato sebagai berikut :

Type Of Constitution

Good Or True Form

Bad Or Perverted Form

Government of One

Monarchy or Royalty

Tyrani or Despotism

Government of The Few

Aristocracy

Oligarchy

Government of The Many

Polity

Democracy

Menurut C.F. Strong, dalam kondisi saat ini pola ketatanegaraan Aristoteles tersebut dipastikan tidak mempunyai daya tetap. Sehingga ia mencari klasifikasi lain dengan cara mencari ciri atau tanda yang bersamaan pada negara-negara modern, yang pada asasnya mempunyai 3 (tiga) macam kekuasaan: organ kekuasaan legislatif, organ kekuasaan eksekutif dan organ kekuasaan judisiil.

Dicey mengatakah bahwa yang dimaksud dengan unitarianism adalah the habitual exercise of supreme legislative authority by one central power. Dengan demikian, walaupun kepada bagian-bagian negara diberikan otonomi yang luas, tapi sama sekali tidak mempunyai wewenang apalagi kekuasaan untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat dapat saja mengatur dan menentukan sampai seberapa luaskah wewenang yang diberikan kepada daerah-daerah otonom.

Jika dilihat dari sudut kedaulatan, maka kedaulatan dalam negara bagian tidak dapat dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, melainkan karena masalah tersebut adalah merupakan hakekat dari negara kesatuan.

Tiap-tiap federalisme mempunyai akar masa lalu, yang ditentukan oleh proses sejarah masing-masing bangsa, sehingga yang terjadi adalah timbul bermacam-macam federalisme :

1.         confederation/staatenbund, dimana negara federal tidak mempunyai kekuasaan yang sesungguhnya (real power);

2.         negara-negara yang bergabung menginginkan adanya kedaulatan nasional, dimana negara negara sebagai keseluruhanlah yang mempunyai kedaulatan;

3.         negara-negara dalam negara federal tidak mengingingkan persatuan, namun masing-masing negara bagian tersebut tidak mau bersatu (though the federating units desiring union, they do not desire unity).

Mengenai cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-negara bagian, terdapat 2 (dua) cara yaitu :

1.      kekuasaan yang diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara federal ditetapkan secara limitatif dalam konstitusi negara federal. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara federal dibandingkan dengan negara-negara bagian, contoh Kanada yang oleh C.F. Strong disebut sebagai less federal; dan

2.      kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian dan kekuasaan lainnya (the reserve power) ada pada negara federal, ditetapkan secara llimitatif dalam konstitusi. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara-negara bagian dibandingkan dengan negara federal dan diharapkan terjadi pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah federal dalam hubungannya dengan kekuasaan negara-negara bagian (to check the power of the federal authority as against the federating units).[3]

Dengan adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian ini mengandung arti bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat masing-masing tidak menjadi lebih tinggi dari yang lain, karena telah diikat oleh konstitusi yang merupakan treaty. Siapa yang menilai adanya pelanggaran terhadap konstitusi? Di Amerika Serikat, perselisihan mengenai hal tersebut diserahkan kepada kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan di Swiss diserahkan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat Federal.

C.      Hakikat Konstitusi
Secara etimologi, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin "constitutio, constituere" artinya dasar susunan badan, dan dari bahasa Prancis "constituer" yang berarti membentuk. Pada zaman dahulu, istilah pada konstitusi dipergunakan untuk perintah-perintah kaisar Romawi (yakni, constitutions principum). Kemudian, di italia difungsikan untuk menunjukkan undang-undang dasar "Diritton Constitutionale". Sedangkan Konstitusi dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Grondwet. 
1.      Perkembangan Konstitusi Yunani
Konstitusi telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dimulai sejak zaman Yunani Kuno yang dapat dibuktikan dengan memperhatikan pendapat Plato yang membedakan istilah nomoi dan politiea. Nomoi berarti undang-undang, sedangkan politiea berarti Negara atau dapat disepadankan dengan pengertian kostitusi. Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi daripada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar tidak bercerai-berai. Akan tetapi pada masa itu konstitusi masih diartikan secara materiil saja, karena belum dibuat dalam suatu naskah tertulis sebagaimana dikenal pada masa kini. Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404 SM) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Pada masa itu Aristoteles sebagai murid terbesar Plato berhasil mengumpulkan 158 konstitusi dari berbagai negara sehingga diakui sebagai orang pertama yang mela­kukan studi perbandingan konstitusi.
Di dalam kebudayaan Yunani penggunaan istilah UUD berkaitan erat dengan ucapan Resblica constituere yang memunculkan semboyan “Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Supreme Lex” yang artinya rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur negara oleh karena Raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang, sehingga kekuasaan raja sangat absolut.
Pada masa itu pemahaman tentang konstitusi hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan semata-mata Bagi bangsa Yunani, Negara merupakan seluruh pola pergaulannya, sebuah kota tempat terpenuhinya semua kbutuhannya secara material dan spiritual. Keberadaan Negara, kata Aristoteles, tidak semata mata untuk memungkinkan adanya kehidupan, tetapi untuk membuat kehidupan bias berjalan dengan baik. Menurut Plato dan Aristoteles, ujian atas kewarganegaraan yang baik adalah kepatuhannya terhadap undang-undang atau konstitusi.
Dalam bahasa Yunani Kuno tidak dikenal ada­nya istilah yang mencerminkan pengertian ka­ta jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tra­disi Romawi yang datang kemudian. Dalam ke­se­luruhan sistem berpikir para filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah seperti apa yang kita maksudkan sekarang ini. Perkata­an consti­tution di zaman Kekaisaran Romawi (Roman Empire), dalam bentuk bahasa latinnya, mula-mula digunakan se­ba­gai istilah teknis untuk menyebut the acts of legisla­tion by the Empe­ror. Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja atau­pun untuk beberapa peraturan eklesiastik yang ber­laku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum Ge­reja (Kano­nik) itulah yang sering dianggap sebagai sum­ber rujukan atau referensi paling awal mengenai peng­gu­na­an perkataan constitution dalam sejarah.
Dalam perkembangannya, bangsa Romawi yang sedang melebarkan sayap kerajaan dunianya, berubah dari negara polis (city state), menjadi suatu imperium (kerajaan dunia) yang dapat mempersatukan seluruh daerah peradaban dalam suatu kerajaan. Pada zaman Romawi, meskipun ilmu ketatanegaraan tidak mengalami perkembangan yang pesat dikarenakan, pada masa Romawi lebih menitikberatkan persoalan­-persoalan praktis daripada masalah-masalah teoritis, namun pemikiran-pemikiran hukum pada zaman Romawi sangat mempengaruhi perkembangan ketatanegaraan pada abad berikutnya. Beberapa bukti di antara­nya;
a.       pada saat terjadi pertentangan antara kaum patricia (kaum ningrat) dengan kaum Plebeia (kaum gembel, rakyat jelata). Pertentangan ini dapat diselesaikan dengan sebuah undang-undang yang terkenal dengan nama Undang-Undang 12 Meja.
b.      penggunaan istilah ius gentium pertamakalinya digunakan pada zaman Romawi untuk menunjukkan bahwa kerajaan Romawi telah membedakan hukum bagi orang-orang Romawi dan di luar Romawi. Bagi orang Romawi diberlakukan ius civil, sedangkan di luar Romawi (bukan Romawi Asli) diberlakukanius gentium(yang dikenal dengan sebutan hukum antar negara).
c.       penggunaan perkataan lex dikenal pada masa Romawi. Lex ini dipahami sebagai konstitusi untuk menentukan bagaimana bangunan kenegaraan harus dikembangkan, yang kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi politik dan hukum.

3.      Perkembangan Konstitusi Inggris
Parlemen pertama di Inggris yang terdiri dari wakil-wakil county dan kota dibentuk pada 1265. Sejak tahun1295, tahun “Parlemen Model” Edward I, parlemen-parlemen bersidang dengan interval waktu yang tidak tetap,terutama bertujuan untuk memberikan dana bantuan keuangan kepada raja. Namun pada akhir abad ke-14,muncul alasan baru bagi keberadaan parlemen. Tahun 1399, Raja Richard II diturunkan dengan paksa  dan seorang keturunan keluarga Edward III yang lebih muda, wangsa Lancaster, merebut tahta. Karena tidak memiliki hak waris keturunan yang sebenarnya,Raja Henry IV dan para penerusnya bergantung pada Parlemen untuk mengesahkan kedudukan mereka. Meskipun demikian, kelemahan posisi wangsa Lancaster semakin bertambah dengan kekalahannya dalam perang melawan Perancis dan ketidakmampuan Raja Henry IV yang penurunan tahtanya diakibatkan oleh Perang Mawar. Raja Edward IV, harus meneruskan perang yang semakin mendekat akibat kekalahan saudaranya, Richard III di Boswoth oleh Henry Tudor tahun1485. Peristiwa inilah yang mengawali berdirinya monarki yang sesekali disebut Despotisme Tudor (Tudor Despotism).Despotisme Tudor memiliki tiga orang pemerintahan yaitu Dewan,Parlemen dan Hakim-hakim setempat (the Justices of the Peace).Dewan adalah kaki tangan raja dibagian eksekutif.
Perang saudara (1642-1649) benar-benar menghancurkan kesempatan apapun yang ada di Inggris untuk mendirikan tipe despotisme terbuka (Englightened Despotism) yang telah berkembang pesat di Eropa continental.
Fakta penting Revolusi  tahun 1688,pertama, penguasaan urusan Negara telah di alihkan secara efektif dari Raja kepada “Raja dalam Parlemen”; kedua, perubahan ini ditetapkan berdasarkan undang-undang,dimana sebelumnya yang berlaku hanya  hokum adat-istiadat dan konvensi.
4.      Perkembangan Konstitusi Modern
Konstitusi modern dimulai sejak adanya pengundangan UUD yang tertulis, yaitu pada UUD Amerika Serikat (1787) dan deklarasi Perancis tentang hak-hak asasi manusia dan warga Negara (1789). Melalui kedua naskah tersebut kemudian memberikan dampak yang cukup besar terhadap Negara-negara lainnya. Dengan diundangkannya UUD tertulis banyak mempengaruhi dan memberikan wawasan tentang perlunya UUD sebagai suatu konstitusi. Akan tetapi ada sebagian kecil Negara yang tidak memiliki UUD secara tertulis seperti Inggris misalnya. Namun demikian bukan berarti Inggris tidak memiliki konstitusi. Karena sesuai dengan zaman modern konstitusi bias lahir dari adanya kebiasaan yang timbul dari praktik ketatanegaraan.
Secara luas konstitusi berarti keseluruhan hukum dasar baik yang tertulis atau tidak tertulis yang mengatur secara mengikat mengenai penyelenggaraan ketatanegaraan suatu Negara. Pada dasarnya konstitusi modern menganut pokok-pokok yang didalamnya terkandung:
a.       Jaminan hak-hak asasi manusia.
b.      Susunan ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
c.       Pembagian pada pembatasan kekuasaan.
Konstitusi dibuat oleh lembaga khusus dan yang tinggi kekuasaannya. Konstitusi juga sebagai sumber hukum yang tertinggi  sehingga dijadikan patokan untuk menentukan UU, membuat kebijakan, serta dapat membatasi kewenangan penguasa dalam suatu Negara. Dari sifat konstitusi yang flexible dan rigid (kaku), maka konstitusi pada perkembangan modern dapat menyesuaikan keadaan dalam suatu Negara yang berhubungan dengan masyarakat sehingga lebih menjamin hak-hak asasi masyarakat.
                                                                                               


5.      Perkembangan Konstitusi Islam
Perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme juga dapat dilacak pada peradaban negara-negara Islam. Ketika bangsa Eropa berada dalam keadaan kegelapan pada abad pertengahan (the dark age), di Timur Tengah tumbuh dan berkembang pesat perada­ban baru di lingkungan penganut ajaran Islam. Atas penga­ruh Nabi Muhammad SAW, ba­nyak sekali inovasi-inovasi baru dalam kehidupan umat manusia yang di­kembangkan menjadi pen­dorong kemajuan peradaban. Salah satunya ialah penyusunan dan penandatanganan per­setujuan atau perjanjian bersama di antara kelom­pok-kelompok penduduk kota Madinah untuk ber­sama-sama membangun struktur kehidupan ber­sama yang di kemudian hari berkembang men­jadi kehidupan ke­ne­gara­an dalam pengertian modern sekarang. Naskah per­setujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan penger­tian konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil pen­du­duk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelum­nya, pa­da tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah ter­­sebut dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam Madinah yang berisi per­janjian masya­rakat Madinah (social contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komu­nitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah, (ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars, (vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.

D.      Hakekat Kekuasaan Legislatif
Sebagai badan yang pada umumnya menetapkan hukum tertulis, legislatif memberi garis pedoman yang harus dilaksanakan oleh badan-badan lain seperti eksekutif dan yudikatif.
Menurut C.F.Strong, pengklasifikasian menjadi negara yang menganut sistem satu kamar dan dua kamar tidak tepat dan tidak riil, karena jika klasifikasi ini kita pergunakan, maka kita akan mengelompokkan negara-negara dunia ini dalam negara-negara yang mempunyai sistem satu kamar dan dua kamar, hal ini akan menyamakan negara atau negara-negara yang tidak melakukan pemilihan anggota badan perwakilan rakyatnya menjadi satu dengan negara atau negara-negara yang memilih anggota badan perwakilan rakyatnya dalam suatu pemilihan umum. Sehingga ia berpendapat akan lebih baik jika pengklasifikasian tersebut didasarkan pada: dengan jalan bagaimanakah badan perwakilan rakyat masing-masing negara itu dibentuk, sehingga pola negara dapat dibagi dalam :
a.       Sistem pemilihan dimana anggota-anggota Lower House duduk didalamnya. a.1) Apakah macam pemilihannya (kind of franchise): Pertama, pemilihan dilakukan secara umum (adult suffrage) yaitu hak untuk melakukan pemilihan baik pasif maupun aktif yang diberikan kepada seseorang yang telah mencapai usia tertentu. Kedua, tidak secara umum (manhood suffrage), baik hak pilih pasif maupun aktif hanya diberikan kepada semua laki-laki yang telah mencapai usia tertentu. a.2) persoalan yang berhubungan dengan daerah pemilihan (kind of constituency); Kita mengenal adanya beberapa sistem pemilihan, yaitu : a) sistem proporsional (the simply majority system with second with second ballot and proportional representation), dan b) sistem distrik (the simple majority single ballot system).
b.      The second chamber atau Upper House, yang terbentuk oleh karena beberapa faktor, antara lain adalah sejarah lembaga tersebut dan terbentuk oleh karena bentuk negara federal/serikat.[4]

E.       Hakekat Kekuasaan Eksekutif
C.F.Strong mengemukakan adalah suatu keharusan bahwa dalam setiap negara yang mengatur asas-asas demokrasi, kepada lembaga eksekutif harus dilakukan pengawasan serta pembatasan, dengan demikian lembaga eksekutif harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat. Ia membagi hakekat kekuasaan eksekutif ini atas dua hal :
1.      adanya pertanggungjawaban Badan Eksekutif kepada Badan Legislatif/Parlemen, dimana badan legislatif ini dapat menjatuhkan pihak eksekutif apabila mendapat mosi tidak percaya;
2.      Badan eksekutif mendapat pengawasan dalam bentuk lain, misalnya adanya pemilihan presiden secara periodik. Sehingga berdasarkan klasifikasi ini, dapat dibagi negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer (The Parliamentary Executive System) dan presidentiil (The Non-parliamentary Executive System)

F.       Hakekat Kekuasaan Peradilan
C.F.Strong mengklasifikasi kekuasaan peradilan atas dasar hubungan antara kekuasaan peradilan dengan kekuasaan pemerintahan (the connection of the judiciary with the executive):
1.      Common Law States, in which the executive, being subject to the operation of the rule of law;
2.      Prerogatives States, in which the executive is protected by a special system of administrative law.



[1] Abu Daud Busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan (Konstitusi Sembilan Negara), Jakarta : Bumi Aksara, 1987, hlm.43
[2] Ibid, hlm. 49-50
[3] Somantri Martosoewignyo. 1984. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara . Cet. Ke-2. Jakarta : Raawali, hlm.59  
[4] Beni Ahmad Saebani, Ai Wati. 2016. Perbandingan Hukum Tata Negara. Bandung : CV. Pustaka Setis. Hal.33-56