kumpulan makalah
Dalam hidup ini, Banyak sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Banyak hal-hal yang terjadi pada kita. Tetapi satu-satunya hal yang benar-benar penting adalah apa yang terjadi di dalam diri kita.
Rabu, 07 November 2018
Senin, 22 Oktober 2018
RESUME PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Negara Hukum
Negara hukum, kekuasaan negara berdasar atas hukum, bukan
kekuasaan belaka serta pemerintahan negara berdasar pada konstitusi yang
berpaham konstitusionalisme, tanpa hal tersebut sulit disebut sebagai negara
hukum. Supremasi hukum harus mencakup tiga ide dasar hukum, yakni keadilan,
kemanfaatan, dan kepastian. Oleh karena itu di negara hukum, hukum harus tidak
boleh mengabaikan “rasa keadilan masyarakat”.
Negara-negara komunis atau negara otoriter memiliki
konstitusi tetapi menolak gagasan tentang konstitusionalisme sehingga tidak
dapat dikatakan sebagai negara hukum dalam arti sesungguhnya. Jimly Asshiddiqie
(dalam Dwi Winarno, 2006) menyatakan bahwa negara hukum adalah unik, sebab
negara hendak dipahami sebagai suatu konsep hukum. Dikatakan sebagai konsep
yang unik karena tidak ada konsep lain. Dalam negara hukum nantinya akan
terdapat satu kesatuan sistem hukum yang berpuncak pada konstitusi atau
undang-undang dasar.
Negara tidak campur tangan secara banyak terhadap urusan dan
kepentingan warga negara. Namun seiring perkembangan zaman, negara hukum formil
berkembang menjadi negara hukum materiil yang berarti negara yang
pemerintahannya memiliki keleluasaan untuk turut campur tangan dalam urusan
warga dengan dasar bahwa pemerintah ikut bertanggung jawab terhadap
kesejahteraan rakyat. Negara bersifat aktif dan mandiri dalam upaya membangun
kesejahteraan rakyat.
B.
Hukum Tata Negara
Kekuasaan suatu negara beserta aspek-aspek yang tertuang dan
berkaitan dengan organisasi negara membutuhkan suatu aturan yang mengatur
organisasi kekuasaan negara tersebut, pengaturan itulah yang dikatakan sebagai
hukum tata negara.
Dengan adanya hubungan tersebut membuat hukum
ketatanegaraan memiliki istilah dilingkungannya yang dijabarkan sebagai
berikut:
Di Belanda umumnya memamakai istilah istilah “staatsrech”
istilah tersebut dibagi menjadi dua bagian yang dikenal dengan staatsrech in
ruimere zin (dalam arti luas) dan staatsrech In engere zin (dalam
arti luas). Staatsrech in ruimere zin hanya diartikan sebagai
Hukum Negara. Sedangkan staatsrech in engere zin adalah hukum yang
membedakan Hukum Tata Negara dari Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Usaha
Negara atau Hukum Tata Pemerintah.
Di Inggris pada umumnya memakai istilah “Contitusional
Law”, alasan penggunaan istilah tersebut adalah dalam Hukum Tata Negara
unsur konstitusi yang lebih menonjol.
Di Perancis orang mempergunakan istilah “Droit
Constitutionnel” yang di lawankan dengan “Droit Administrative”,
dimana titik tolaknya adalah untuk membedakan antara Hukum Tata Negara dengan
Hukum Aministrasi Negara.
BAB II
PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP
PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA
A.
Pengertian
Perbandingan Hukum Tata Negara
Ada dua
istilah yang digunakan dalam lingkup ilmu perbandingan hukum tata negara yaitu,
perbandingan hukum dan hukum perbandingan. Penggunaan istilah yang berbeda-beda
dalam lingkungan dunia ilmu pengetahuan hukum di Indonesia ini merupakan dampak
dari dipergunakannya istilah di Eropa
Kontinental.
Untuk
mengetahui makna perbandingan hukum tata negara kita harus memahami istilah
perbandingan hukum atau hukum perbandingan.
B. Hubungan
Ilmu Negara dengan Ilmu Hukum Tata Negara
Untuk
istilah ilmu hukum tata negara ini disingkat HTN sering dipakai istilah yang
berlainan. Umpamanya di negara Belanda disebutkan Staatsrecht, di negara Jerman
Verfassungsrecht, di tanah Inggris Cosntitusional-law. Sedangkan di negara
Prancis menurut sarjana yang bernama Maurice Duverger di dalam bukunya yang
berjudul Droit Constitutionnel et institutions Politiques, disebut droit
constitutionnel.
Selanjutnya
menurut Prof. Usep Ranawidjaja, S.H. dalam tulisannya “Himpunan kuliah hukum
tata negara Indonesia”. Istilah hukum tata negara merupakan hasil terjemahan
dari bahasa Belanda Staatsrecht. Sudah menjadi kesatuan pendapat di antara para
sarjana hukum Belanda untuk membedakan antara “hukum tata negara dalam arti
luas” (staatsrecht in ruime zin), dan “hukum tata negara dalam arti sempit”
(staatsrecth in engezin), dan untuk membagi hukum tata negara dalam arti luas
itu atas dua golongan hukum, yaitu:
1. Hukum
tata negara dalam arti sempit atau untuk singkatnya dinamakan hukum tata negara
2. Hukum
tata usaha negara
Hukum
tata usaha negara atau disingkat HTUN sebagai hasil alih bahasa dari bahasa Belanda
seringkali mempunyai istilah yang berlainan. Umpamanya di negara Belanda ada
yang menyebutnya administratief recht ada pula yang menyebutnya Bestuurs recht
seperti G.A. Van Poelje dan G. J. Wiarda.
Di
negara Jerman disebut Verwaltungsrecht, di tanah Perancis droit administratief,
sedangkan di Indonesia ada yang menyebutnya “hukum tata usaha negara’ seperti
di kalangan Universitas Negeri Padjajaran, akan tetapi dikalangan Universitas
Negeri Gajah Mada disebutnya “hukum tata pemerintahan,”, sedangkan Prof. Dr. E.
Utrech, S.H. menyebutnya ‘Hukum Administrasi Negara”, dalam undang-undang dasar
sementara republik Indonesia (UUDSRI) tahun 1950 pada pasal 108 dipakai istilah
“hukum tata usaha”, dan disamping itu Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam majalah
hukum tahun 1952 nomor 1 mengintroduksi istilah “Hukum Tata Usaha
Pemerintahan”.
Maka
dengan demikian jelaslah bahwa ilmu negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang
menyelidiki pengertian-pengertian pokok dan sendiri-sendiri pokok negara dapat
memberikan dasar-dasar teoritis yang bersifat umum untuk hukum tata negara.
Oleh karena itu agar dapat mengerti dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya
sistem hukum ketatanegaraan sesuatu negara tertentu, sudah sewajarnyalah kita
harus terlebih dahulu memiliki pengetahuan segala hal ikhwalnya secara umum
tentang negara yang didapat dalam ilmu negara.
Menjadi
teranglah bahwa dalam rangka perhubungan ini ilmu negara merupakan suatu
pelajaran pengantar dan ilmu dasar pokok bagi pelajaran hukum tata negara,
karenanya hukum tata negara tidak dapat dipelajari secara ilmiah dan teratur
sebelum terlebih dahulu dipelajari pengetahuan tentang pengertian-pengertian
pokok dan sendi-sendi pokok dari pada negara umumnya. Maka ilmu negara dapat
memberikan dasar-dasar teoritis untuk hukum tata negara yang positif. Hukum
tata negara merupakan penerapan atau pelarapan di dalam kenyataan-kenyataan
konkret dari bahan-bahan teoritis yang dihasilkan oleh ilmu negara. Karenanya
ilmu hukum tata negara itu mempunyai sifat praktis applied science yang
bahan-bahannya diselidiki, dikumpulkan dan disediakan oleh pure science ilmu
negara.
Ketiga ilmu ini
mempunyai obyek yang sama, yaitu negara. Pertanyaannya adalah, dimanakan letak
perbedaan antara Ilmu Perbandingan Hukum Tata Negara dengan Ilmu Hukum Tata
Negara dan Ilmu Negara? Jawabannya adalah meskipun obyek penyelidikan ketiga
ilmu pengetahuan tersebut sama, namun disamping tugas yang berbeda, ketiga ilmu
tersebut meninjau gejala-gejala negara dari sudut yang berlain-lainan.
Obyek ilmu hukum tata
negara adalah negara tertentu, khususnya hanya mengenai susunan hukum tata
negaranya (het staatsrechtelijk bestel). Sehingga dapatlah dimengerti
mengapa biasanya ilmu hukum tata negara dimulai dalam bentuk pemberian
komentar, yaitu menafsirkan kaidah-kaidah hukum berdasarkan tata-urutannya dan
penyelidikannya hanya terbatas pada negara tertentu saja.
Obyek ilmu perbandingan
hukum tata negara adalah bermacam-macam bentuk atau sistem ketatanegaraan,
ciri-ciri khusus apakah yang melekat padanya, hal-hal apakah yang
menimbulkannya, dengan jalan apakah hal-hal tersebut berubah, hilang dan
sebagainya, yang dapat diketahui dengan cara menganalisis secara metodis dan
menetapkannya secara sistematis.
BAB III
STRUKTUR
DAN POLA KETATANEGARAN DALAM BERBAGAI ASPEK
A.
Struktur
ketatanegaraan berdasarkan Asas Demokrasi san Diktator
Setiap negara memberikan arti dan pengertian berbeda terhadap demokrasi.
Sekalipun demikian, untuk menetukan suatu negara menganut asas demokrasi atau
tidak, ada beberapa ukuran atau syarat tertentu. International commission of
jurist dalam konferesinya di Bangkok pada tahun 1965 menyebutkan bahwa
negara yang menganut asas demokrasi disebut juga sebagi representative
government, yaitu “a government deriving its power and authority from
the people, which power and authority are exercise through representative freely chosen and responsible
to them.”[1]
Negara yang berdasarkan asas-asas demokrasi harus memiliki kekuasaan
peradilan yang bebas dan tidak memihak. Hal ini berarti para hakim sebagai
pelaksana kekuasaan peradilan tidak boleh memperoleh tekanan atau pengaruh apa
pun dari kekuatan lainnya, baik kekuatan itu resmi seperti pemerintahan dan
lembaga legislatif maupun tidak resmi seperti kekuasaan sosial politik yang
terdapat dalam masyarakat.
Selain itu, negara yang menganut asas-asas demokrasi memiliki kebebasan
untuk menyatakan pendapat dan bersarikat. Kebebasan bersarikat mengandung arti
bahwa setiap warga negara dapat bersatu dalam satu organisasi yang bersifat
politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Kebebasan untuk berserikat dan
berkumpul ini disertai kebebasan untuk menyatakan pendapat, baik secara
tertulis maupun secara lisan. Kebebasan berserikat dan berkumpul mengandung
arti bahwa suatu negara memiliki lebih dari satu partai politik.
Selain negara yang menganut asas-asas demokrasi, ada juga negara yang
menganut asas diktator. Pada negara diktator tidak ada kebebasan bersarikat dan
berkumpul, apalagi kebebasan bersatu dalam satu organisasi yang memiliki tujuan
politik. Didalam negara diktatir hanya ada satu partai politik sehingga
organisasi partai politik tersebut dimasukkan kedalam mekanisme pemerintahan.
B.
Stuktur
ketatnegaraan menurut C.F Strong
Pola ketatanegaraan yang dikemukakan oleh Plato
dan Aristoteles adalah setiap negara bergerak melalui apa yang dinamakan cycle
of revolution, yaitu :
1.
.setiap negara mula-mula dikuasai oleh hanya
seorang saja (the rule of man) yang disebut monarchy;
2.
bahwa namun kemudian, ada saatnya dimana orang
yang mempunyai sifat-sifat yang baik untuk memegang kekuasaan sudah tidak ada
dan akhirnya digantikan oleh orang yang lebih mementingkan kekuasaan daripada
kepentingan rakyatnya (tyranny/despotism);
3.
selanjutnya si tiran atau despoot tersebut
akhirnya menghadapi suatu tantangan serta oposisi dari suatu kelompok orang
yang mempunyai sifat-sifat baik dan ingin memperbaiki kehidupan rakyatnya yang
disebut aristokrasi;
4.
saatnya semangat artistokrasi hilang dan
muncullah sekelompok orang yang menjalankan kekuasaan secara sewenang-wenang
untuk kepentingan kelompok itu sendiri dan terjadi korupsi dikalangan penguasa
tersebut (oligarchy);
5.
akhirnya rakyat sangat marah dan menentang dan
menggulingkan penguasa korup tadi dan muncullah pemerintahan yang disebut
demokrasi, yaitu pemerintahan oleh banyak orang;
6.
pada akhirnya cycle of revolution ini
dipatahkan dengan tipe pemerintahan yang disebut polity.[2]
Pola ketatanegaraan tersebut digambarkan oleh
Plato sebagai berikut :
Type Of Constitution |
Good Or True Form |
Bad Or Perverted Form |
Government of One |
Monarchy or Royalty |
Tyrani or Despotism |
Government of The Few |
Aristocracy |
Oligarchy |
Government of The Many |
Polity |
Democracy |
Menurut C.F. Strong, dalam kondisi saat ini pola ketatanegaraan Aristoteles tersebut dipastikan tidak mempunyai daya tetap. Sehingga ia mencari klasifikasi lain dengan cara mencari ciri atau tanda yang bersamaan pada negara-negara modern, yang pada asasnya mempunyai 3 (tiga) macam kekuasaan: organ kekuasaan legislatif, organ kekuasaan eksekutif dan organ kekuasaan judisiil.
Dicey mengatakah bahwa yang dimaksud dengan unitarianism adalah the habitual exercise of supreme legislative authority by one central power. Dengan demikian, walaupun kepada bagian-bagian negara diberikan otonomi yang luas, tapi sama sekali tidak mempunyai wewenang apalagi kekuasaan untuk mengurangi kekuasaan pemerintah pusat. Sebaliknya, pemerintah pusat dapat saja mengatur dan menentukan sampai seberapa luaskah wewenang yang diberikan kepada daerah-daerah otonom.
Jika dilihat dari sudut kedaulatan, maka kedaulatan dalam negara bagian tidak dapat dibagi-bagi. Adanya pelimpahan wewenang dari pemerintahan pusat kepada daerah-daerah otonom bukanlah karena hal itu ditetapkan dalam konstitusinya, melainkan karena masalah tersebut adalah merupakan hakekat dari negara kesatuan.
Tiap-tiap federalisme mempunyai akar masa lalu, yang ditentukan oleh proses sejarah masing-masing bangsa, sehingga yang terjadi adalah timbul bermacam-macam federalisme :
1. confederation/staatenbund, dimana negara federal tidak mempunyai kekuasaan yang sesungguhnya (real power);
2. negara-negara yang bergabung menginginkan adanya kedaulatan nasional, dimana negara negara sebagai keseluruhanlah yang mempunyai kedaulatan;
3. negara-negara dalam negara federal tidak mengingingkan persatuan, namun masing-masing negara bagian tersebut tidak mau bersatu (though the federating units desiring union, they do not desire unity).
Mengenai cara membagi kekuasaan antara negara federal dengan negara-negara bagian, terdapat 2 (dua) cara yaitu :
1. kekuasaan yang diserahkan oleh negara-negara bagian kepada negara federal ditetapkan secara limitatif dalam konstitusi negara federal. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara federal dibandingkan dengan negara-negara bagian, contoh Kanada yang oleh C.F. Strong disebut sebagai less federal; dan
2. kekuasaan yang diserahkan kepada pemerintah negara-negara bagian dan kekuasaan lainnya (the reserve power) ada pada negara federal, ditetapkan secara llimitatif dalam konstitusi. Disini terjadi perkuatan kedudukan negara-negara bagian dibandingkan dengan negara federal dan diharapkan terjadi pengawasan terhadap kekuasaan pemerintah federal dalam hubungannya dengan kekuasaan negara-negara bagian (to check the power of the federal authority as against the federating units).[3]
Dengan adanya pembagian kekuasaan antara negara federal dan negara-negara bagian ini mengandung arti bahwa Lembaga Perwakilan Rakyat masing-masing tidak menjadi lebih tinggi dari yang lain, karena telah diikat oleh konstitusi yang merupakan treaty. Siapa yang menilai adanya pelanggaran terhadap konstitusi? Di Amerika Serikat, perselisihan mengenai hal tersebut diserahkan kepada kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan di Swiss diserahkan kepada Lembaga Perwakilan Rakyat Federal.
C.
Hakikat
Konstitusi
Secara etimologi, istilah konstitusi berasal dari bahasa latin "constitutio,
constituere" artinya dasar susunan badan, dan dari bahasa Prancis "constituer"
yang berarti membentuk. Pada zaman dahulu, istilah pada konstitusi
dipergunakan untuk perintah-perintah kaisar Romawi (yakni, constitutions
principum). Kemudian, di italia difungsikan untuk menunjukkan undang-undang
dasar "Diritton Constitutionale". Sedangkan Konstitusi
dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Grondwet.
1. Perkembangan Konstitusi Yunani
Konstitusi
telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Dimulai sejak zaman Yunani Kuno yang
dapat dibuktikan dengan memperhatikan pendapat Plato yang
membedakan istilah nomoi dan politiea. Nomoi berarti
undang-undang, sedangkan politiea berarti Negara atau dapat
disepadankan dengan pengertian kostitusi. Politea mengandung kekuasaan yang
lebih tinggi daripada nomoi, karena politea mempunyai kekuasaan membentuk
sedangkan pada nomoi tidak ada, karena ia hanya merupakan materi yang harus
dibentuk agar tidak bercerai-berai. Akan tetapi pada masa itu konstitusi masih
diartikan secara materiil saja, karena belum dibuat dalam suatu naskah tertulis
sebagaimana dikenal pada masa kini. Pada masa kejayaannya (antara tahun 624-404
SM) Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi. Pada masa itu
Aristoteles sebagai murid terbesar Plato berhasil mengumpulkan 158 konstitusi
dari berbagai negara sehingga diakui sebagai orang pertama yang melakukan
studi perbandingan konstitusi.
Di dalam kebudayaan Yunani penggunaan
istilah UUD berkaitan erat dengan ucapan Resblica constituere yang
memunculkan semboyan “Prinsep Legibus Solutus est, Salus Publica Supreme
Lex” yang artinya rajalah yang berhak menentukan organisasi/struktur
negara oleh karena Raja adalah satu-satunya pembuat undang-undang, sehingga
kekuasaan raja sangat absolut.
Pada masa itu pemahaman tentang
konstitusi hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta adat
kebiasaan semata-mata Bagi bangsa Yunani, Negara merupakan seluruh pola pergaulannya, sebuah kota tempat terpenuhinya
semua kbutuhannya secara material dan spiritual. Keberadaan Negara, kata Aristoteles,
tidak semata mata untuk memungkinkan adanya kehidupan, tetapi untuk membuat
kehidupan bias berjalan dengan baik. Menurut Plato dan Aristoteles, ujian atas
kewarganegaraan yang baik adalah kepatuhannya terhadap undang-undang atau
konstitusi.
Dalam bahasa
Yunani Kuno tidak dikenal adanya istilah yang mencerminkan pengertian kata
jus ataupun constitutio sebagaimana dalam tradisi
Romawi yang datang kemudian. Dalam keseluruhan sistem berpikir para
filosof Yunani Kuno, perkataan constitution adalah
seperti apa yang kita maksudkan sekarang ini. Perkataan constitution di zaman Kekaisaran Romawi
(Roman Empire), dalam bentuk
bahasa latinnya, mula-mula digunakan sebagai istilah teknis untuk menyebut the acts of legislation by the Emperor.
Bersamaan dengan banyak aspek dari hukum Romawi yang dipinjam ke dalam sistem
pemikiran hukum di kalangan gereja, maka istilah teknis constitution juga dipinjam untuk menyebut
peraturan-peraturan eklesiastik yang berlaku di seluruh gereja ataupun untuk
beberapa peraturan eklesiastik yang berlaku di gereja-gereja tertentu (ecclesiastical province). Oleh karena
itu, kitab-kitab Hukum Romawi dan Hukum Gereja (Kanonik) itulah yang sering
dianggap sebagai sumber rujukan atau referensi paling awal mengenai penggunaan
perkataan constitution dalam
sejarah.
Dalam
perkembangannya, bangsa Romawi yang sedang melebarkan sayap kerajaan dunianya,
berubah dari negara polis (city state),
menjadi suatu imperium (kerajaan dunia) yang dapat mempersatukan seluruh daerah
peradaban dalam suatu kerajaan. Pada zaman Romawi, meskipun ilmu ketatanegaraan
tidak mengalami perkembangan yang pesat dikarenakan, pada masa Romawi lebih
menitikberatkan persoalan-persoalan praktis daripada masalah-masalah teoritis,
namun pemikiran-pemikiran hukum pada zaman Romawi sangat mempengaruhi
perkembangan ketatanegaraan pada abad berikutnya. Beberapa bukti di antaranya;
a.
pada saat terjadi pertentangan antara kaum patricia (kaum ningrat) dengan kaum Plebeia (kaum gembel, rakyat jelata).
Pertentangan ini dapat diselesaikan dengan sebuah undang-undang yang terkenal
dengan nama Undang-Undang 12 Meja.
b.
penggunaan istilah ius
gentium pertamakalinya digunakan pada zaman Romawi untuk
menunjukkan bahwa kerajaan Romawi telah membedakan hukum bagi orang-orang
Romawi dan di luar Romawi. Bagi orang Romawi diberlakukan ius civil, sedangkan di luar Romawi
(bukan Romawi Asli) diberlakukanius gentium(yang
dikenal dengan sebutan hukum antar negara).
c.
penggunaan perkataan lex
dikenal pada masa Romawi. Lex
ini dipahami sebagai konstitusi untuk menentukan bagaimana bangunan kenegaraan
harus dikembangkan, yang kemudian menjadi kata kunci untuk memahami konsepsi
politik dan hukum.
3. Perkembangan Konstitusi Inggris
Parlemen pertama di Inggris yang
terdiri dari wakil-wakil county dan kota dibentuk pada 1265.
Sejak tahun1295, tahun “Parlemen Model” Edward I, parlemen-parlemen bersidang
dengan interval waktu yang tidak tetap,terutama bertujuan untuk memberikan dana
bantuan keuangan kepada raja. Namun pada akhir abad ke-14,muncul alasan baru
bagi keberadaan parlemen. Tahun 1399, Raja Richard II diturunkan dengan
paksa dan seorang keturunan keluarga Edward III yang lebih muda, wangsa
Lancaster, merebut tahta. Karena tidak memiliki hak waris keturunan yang
sebenarnya,Raja Henry IV dan para penerusnya bergantung pada Parlemen untuk
mengesahkan kedudukan mereka. Meskipun demikian, kelemahan posisi wangsa
Lancaster semakin bertambah dengan kekalahannya dalam perang melawan Perancis
dan ketidakmampuan Raja Henry IV yang penurunan tahtanya diakibatkan oleh
Perang Mawar. Raja Edward IV, harus meneruskan perang yang semakin mendekat
akibat kekalahan saudaranya, Richard III di Boswoth oleh Henry Tudor tahun1485.
Peristiwa inilah yang mengawali berdirinya monarki yang sesekali disebut
Despotisme Tudor (Tudor Despotism).Despotisme Tudor memiliki tiga orang
pemerintahan yaitu Dewan,Parlemen dan Hakim-hakim setempat (the Justices
of the Peace).Dewan adalah kaki tangan raja dibagian eksekutif.
Perang saudara (1642-1649) benar-benar menghancurkan kesempatan apapun
yang ada di Inggris untuk mendirikan tipe despotisme terbuka (Englightened
Despotism) yang telah berkembang pesat di Eropa continental.
Fakta penting Revolusi tahun 1688,pertama, penguasaan urusan
Negara telah di alihkan secara efektif dari Raja kepada “Raja dalam Parlemen”; kedua,
perubahan ini ditetapkan berdasarkan undang-undang,dimana sebelumnya yang
berlaku hanya hokum adat-istiadat dan konvensi.
4.
Perkembangan Konstitusi Modern
Konstitusi modern dimulai sejak adanya pengundangan UUD yang
tertulis, yaitu pada UUD Amerika Serikat (1787) dan deklarasi Perancis tentang
hak-hak asasi manusia dan warga Negara (1789). Melalui kedua naskah tersebut
kemudian memberikan dampak yang cukup besar terhadap Negara-negara lainnya.
Dengan diundangkannya UUD tertulis banyak mempengaruhi dan memberikan wawasan
tentang perlunya UUD sebagai suatu konstitusi. Akan tetapi ada sebagian kecil
Negara yang tidak memiliki UUD secara tertulis seperti Inggris misalnya. Namun
demikian bukan berarti Inggris tidak memiliki konstitusi. Karena sesuai dengan
zaman modern konstitusi bias lahir dari adanya kebiasaan yang timbul
dari praktik ketatanegaraan.
Secara luas konstitusi berarti keseluruhan hukum dasar baik
yang tertulis atau tidak tertulis yang mengatur secara mengikat mengenai
penyelenggaraan ketatanegaraan suatu Negara. Pada dasarnya konstitusi modern
menganut pokok-pokok yang didalamnya terkandung:
a. Jaminan
hak-hak asasi manusia.
b. Susunan
ketatanegaraan yang bersifat mendasar.
c. Pembagian
pada pembatasan kekuasaan.
Konstitusi dibuat oleh lembaga khusus dan yang tinggi
kekuasaannya. Konstitusi juga sebagai sumber hukum yang tertinggi
sehingga dijadikan patokan untuk menentukan UU, membuat kebijakan, serta dapat
membatasi kewenangan penguasa dalam suatu Negara. Dari sifat konstitusi yang
flexible dan rigid (kaku), maka konstitusi pada perkembangan modern dapat menyesuaikan
keadaan dalam suatu Negara yang berhubungan dengan masyarakat sehingga lebih
menjamin hak-hak asasi masyarakat.
5.
Perkembangan
Konstitusi Islam
Perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme juga dapat
dilacak pada peradaban negara-negara Islam. Ketika bangsa Eropa berada dalam
keadaan kegelapan pada abad pertengahan (the dark age), di Timur
Tengah tumbuh dan berkembang pesat peradaban baru di lingkungan penganut
ajaran Islam. Atas pengaruh Nabi Muhammad SAW, banyak sekali inovasi-inovasi
baru dalam kehidupan umat manusia yang dikembangkan menjadi pendorong
kemajuan peradaban. Salah satunya ialah penyusunan dan penandatanganan persetujuan
atau perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok penduduk kota
Madinah untuk bersama-sama membangun struktur kehidupan bersama yang di
kemudian hari berkembang menjadi kehidupan kenegaraan dalam pengertian
modern sekarang. Naskah persetujuan bersama itulah yang selanjutnya dikenal
sebagai Piagam Madinah (Madinah Charter).
Piagam Madinah ini dapat disebut sebagai piagam tertulis
pertama dalam sejarah umat manusia yang dapat dibandingkan dengan pengertian
konstitusi dalam arti modern. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama
antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak
lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah
sebelumnya, pada tahun 622 M. Para ahli menyebut Piagam Madinah tersebut
dengan berbagai macam istilah yang berlainan satu sama lain
Para pihak yang mengikatkan diri atau terikat dalam Piagam
Madinah yang berisi perjanjian masyarakat Madinah (social
contract) tahun 622 M ini ada tiga belas kelompok komunitas yang secara
eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah (i) kaum
Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah,
(ii) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yatsrib, (iii) Kaum Yahudi dari Banu
‘Awf, (iv) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah, (v) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars,
(vi) Banu Jusyam, (vii) Kaum Yahudi dari Banu Al-Najjar, (viii) Kaum Yahudi
dari Banu ‘Amr ibn ‘Awf, (ix) Banu al-Nabit, (x) Banu al-‘Aws, (xi) Kaum Yahudi
dari Banu Sa’labah, (xii) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah, dan (xiii) Banu Syuthaybah.
D. Hakekat
Kekuasaan Legislatif
Sebagai badan
yang pada umumnya menetapkan hukum tertulis, legislatif memberi garis pedoman
yang harus dilaksanakan oleh badan-badan lain seperti eksekutif dan yudikatif.
Menurut
C.F.Strong, pengklasifikasian menjadi negara yang menganut sistem satu kamar
dan dua kamar tidak tepat dan tidak riil, karena jika klasifikasi ini kita
pergunakan, maka kita akan mengelompokkan negara-negara dunia ini dalam
negara-negara yang mempunyai sistem satu kamar dan dua kamar, hal ini akan
menyamakan negara atau negara-negara yang tidak melakukan pemilihan anggota
badan perwakilan rakyatnya menjadi satu dengan negara atau negara-negara yang
memilih anggota badan perwakilan rakyatnya dalam suatu pemilihan umum. Sehingga
ia berpendapat akan lebih baik jika pengklasifikasian tersebut didasarkan pada:
dengan jalan bagaimanakah badan perwakilan rakyat masing-masing negara itu
dibentuk, sehingga pola negara dapat dibagi dalam :
a. Sistem pemilihan
dimana anggota-anggota Lower House duduk didalamnya. a.1) Apakah macam
pemilihannya (kind of franchise): Pertama, pemilihan dilakukan secara
umum (adult suffrage) yaitu hak untuk melakukan pemilihan baik pasif
maupun aktif yang diberikan kepada seseorang yang telah mencapai usia tertentu.
Kedua, tidak secara umum (manhood suffrage), baik hak pilih pasif maupun
aktif hanya diberikan kepada semua laki-laki yang telah mencapai usia tertentu.
a.2) persoalan yang berhubungan dengan daerah pemilihan (kind of
constituency); Kita
mengenal adanya beberapa sistem pemilihan, yaitu : a) sistem proporsional (the
simply majority system with second with second ballot and proportional
representation), dan b) sistem distrik (the simple majority single
ballot system).
b. The second
chamber atau Upper
House, yang terbentuk oleh karena beberapa faktor, antara lain adalah
sejarah lembaga tersebut dan terbentuk oleh karena bentuk negara
federal/serikat.[4]
E. Hakekat
Kekuasaan Eksekutif
C.F.Strong
mengemukakan adalah suatu keharusan bahwa dalam setiap negara yang mengatur
asas-asas demokrasi, kepada lembaga eksekutif harus dilakukan pengawasan serta
pembatasan, dengan demikian lembaga eksekutif harus mempertanggungjawabkan
kekuasaannya kepada rakyat. Ia membagi hakekat kekuasaan eksekutif ini atas dua
hal :
1. adanya
pertanggungjawaban Badan Eksekutif kepada Badan Legislatif/Parlemen, dimana
badan legislatif ini dapat menjatuhkan pihak eksekutif apabila mendapat mosi
tidak percaya;
2. Badan eksekutif
mendapat pengawasan dalam bentuk lain, misalnya adanya pemilihan presiden
secara periodik. Sehingga berdasarkan klasifikasi ini, dapat dibagi negara yang
menganut sistem pemerintahan parlementer (The Parliamentary Executive
System) dan presidentiil (The Non-parliamentary Executive System)
F. Hakekat
Kekuasaan Peradilan
C.F.Strong
mengklasifikasi kekuasaan peradilan atas dasar hubungan antara kekuasaan
peradilan dengan kekuasaan pemerintahan (the connection of the judiciary
with the executive):
1.
Common Law States, in which the executive, being subject
to the operation of the rule of law;
2.
Prerogatives States, in which the executive is protected
by a special system of administrative law.
[1] Abu Daud Busroh, Intisari
Hukum Tatanegara Perbandingan (Konstitusi Sembilan Negara), Jakarta : Bumi
Aksara, 1987, hlm.43
[2] Ibid, hlm. 49-50
[3] Somantri Martosoewignyo.
1984. Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara . Cet. Ke-2. Jakarta :
Raawali, hlm.59
[4] Beni Ahmad Saebani, Ai
Wati. 2016. Perbandingan Hukum Tata Negara. Bandung : CV. Pustaka Setis.
Hal.33-56
Langganan:
Postingan (Atom)