BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sejarah Agama menunjukkan bahwa
kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat
terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk
pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai
formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam
kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan
tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan
pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menentukan corak hidup
manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan
atas nilai mutlak kebaikan.Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah
jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak
bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.
Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri,
dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik
dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan
tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus
manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak
patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah
sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum,
selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang
mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya
itu.
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
pengertian dari akhlak?
- Bagaimana konsep akhlak dalam kehidupan?
- Bagaimana urgensi akhlak dalam kehidupan?
C.
Tujuan
- Untuk mengetahui pengertian akhlak
- Untuk mengetahui konsep akhlak dalam kehidupan
- Untuk mengetahui urgensi akhlak dalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
Kata “akhlak” (Akhlaq) berasal dari bahasa
Arab,merupakan bentuk jamak dari ”khuluq” yang menurut bahasa berarti budi
pekerti,perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi
persesuaian dengan kata”khalq” yang berarti kejadian.Ibnu ‘Athir menjelaskan
bahwa khuluq adalah gambaran batin manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan
sifat-sifat batiniah),sedang khalq merupakan gambaran bentuk jasmaninya (raut
muka, warna kulit,tinggi rendah badan, dan lain sebagainya). Kata khuluq
sebagai bentuk tunggal dari akhlak.[1]
Kata akhlak juga dapat kita temukan dalam hadis yang sangat populer yang
diriwayatkan oleh Imam Malik, yang artinya:”Bahwasanya aku (Muhammad) diutus
tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”;.[2]
Secara terminologis, terdapat beberapa definisi akhlak yang dikemukakan oleh
para ahli. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai”kehendak yang dibiasakan”.
Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa
yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran
dan pertimbangan”. Sedangkan Abdullah Darraz mengemukakan bahwa akhlak adalah
“suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap yang membawa kecendrungan kepada
pemilihan pada pihak yang benar (akhlak yang baik) atau pihak yang jahat
(akhlak yang buruk)”. Selanjutnya menurut Abdullah Darraz,perbuatan-perbuatan
manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila memenuhi dua
syarat, yaitu :
- Perbuatan perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi suatu kebiasaan bagi pelakunya.
- Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan jiwanya, bukan karena adanya tekanan dari luar,seperti adanya paksaan yang menimbulkan ketakutan atau bujukan dengan harapan mendapatkan sesuatu.
Disamping istilah “akhlak”,kita juga mengenal istilah
“etika” dan ‘moral”. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan
buruk dari sikap dan perbuatan manusia.Perbedaannya terletak pada standar
masing-masing.[3] Akhlak
standarnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah.Sedangkan etika standarnya pertimbangan
akal pikiran,dan moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di
masyarakat
B.
Konsep Akhlak
Dari beberapa pengertian tersebut
diatas,dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang,yakni
keadaan jiwa yang telah terlatih,sehinnga dalam jiwa tersebut benar-benar telah
melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan
spontan,tanpa dipikirkan dan diangan-angankan terlebih dahulu. Hal itu tidak
berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak
dikehendaki.Hanya saja karena yang demikian itu dilakukan berulang-ulang
sehingga sudah menjadi kebiasaan,maka perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa
dipikir dan dipertimbangkan lagi. Sebenarnya akhlak itu sendiri bukanlah
perbuatan,melainkan gambaran batin (jiwa) yang tersembunyi dalam diri manusia.[4]
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akhlak adalah nafsiyah (sesuatu yang
bersifat kejiwaan/abstrak),sedangkan bentuknya yang kelihatan berupa tindakan
(mu’amalah) atau tingkah laku (suluk) merupakan cerminan dari akhlak tadi.
Seringkali suatu perbuatan dilakukan secara kebetulan tanpa adanya kemauan atau
kehendak,dan bisa juga perbuatan itu dilakukan sekali atau beberapa kali
saja,atau barangkali perbuatan itu dilakukan tanpa disertai ikhtiar (kehendak
bebas) karena adanya tekanan atau paksaan. Maka perbuatan-perbuatan tersebut
diatas tidak dapat dikategorikan sebagai akhlak. Sebagai contoh, seseorang
tidak dapat dikatakan berakhlak dermawan,apabila perbuatan memberikan hartanya
itu dilakukan hanya sekali atau dua kali saja,atau mungkin dia memberikan itu
karena terpaksa (disebabkan gengsi atau dibawah tekanan) yang sebenarnya dia
tidak menghendaki untuk melakukannya,atau mungkin untuk memberikan hartanya itu
dia masih merasa berat sehingga memerlukan perhitungan dan pertimbangan.Padahal
factor kehendak ini memegang peranan yang sangat penting,karena dia menunjukkan
adanya unsur ikhtiar dan kebebasan,sehingga suatu perbuatan bisa disebut
perbuatan akhlak.[5]
C.
Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Aspek – aspek ajaran islam, baik
aqidah, ibadah mu’amalah bagi setiap muslim ketiganya merupakan aspek – aspek
yang bersifat taklifi (kewajiban) yang harus dilaksanakan. Sejarah membuktikan
bahwa semua aspek ajaran tersebut tidak dapat terlaksana tanpa adanya akhlak
yang baik. Dari sini dapat dipahami bahwa akhlak merupakan pilar yang
sangat penting dalam Islam.Akhlak yang mulia adalah pertanda kematangan iman
serta merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.[6]
Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir diutus oleh Allah untuk mengemban misi
penyempurnaan akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu.
Manusia mempunyai kecendrungan untuk
berbuat baik dan buruk. Biasanya orang bertakwa akan berbuat dan bersikap baik
dan mengutamakan akhlak mulia, perbuatan baik merupakan wujud kemuliaan
akhlaknya, sedangkan perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk.
Pencerminan diri seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau
akhlak yang ditunjukkan.[7]
Bahkan akhlak merupakan perhiasan diri bagi seseorang karena orang yang
berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak tentu sangat jauh
perbedaannya.
D.
Ayat yang
menjelaskan tentang Akhlak
1. Surah al-israa’ ayat 37
wur
Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$#
$·mttB ( y7¨RÎ) `s9 s-ÌørB
uÚöF{$#
Æs9ur
x÷è=ö6s?
tA$t6Ågø:$#
ZwqèÛ
ÇÌÐÈ
dan janganlah kamu berjalan di muka
bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
Taafsir surah al-israa’ ayat 37
Allah berfirman
seraya melarang hamba-hamba-Nya berjalan dengan penuh kesombongan dan
keangkuhan:
wur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB (
(“Dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.”) Yakni, dengan penuh keangkuhan
seperti jalannya orang-orang sombong.
y7¨RÎ) `s9 s-ÌørB uÚöF{$#
(“Karena
sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi.”) Maksudnya, kamu
tidak akan bisa memotong bumi dengan jalanmu itu.
Æs9ur x÷è=ö6s? tA$t6Ågø:$# ZwqèÛ
(“Dan sekali-kali kamu tidak akan sampai
setinggi gunung.”) Yakni dengan lenggak-lenggok, keangkuhan, dan kebanggaanmu
pada diri sendiri. Bahkan, tidak jarang pelaku hal itu akan memperoleh
kebalikan dari apa yang diharapkan.
Sebagaimana
yang ditegaskan dalam hadits shahih: “Ketika pada masa sebelum kalian, ada
seseorang berjalan dengan mengenakan dua pakaian pada tubuhnya. la
menyombongkan diri dengan kedua pakaian itu, tiba-tiba ia ditelan oleh bumi,
sedang ia terus menjerit-jerit sampai hari Kiamat kelak.”
Selain itu,
Allah juga memberitahukan tentang Qarun, di mana ia keluar menemui kaumnya
dengan menggunakan perhiasannya, dan bahwasanya Allah Tabaaraka wa Ta ala
menenggelamkannya dan juga tempat tinggalnya ke dalam bumi.[8]
2. Surah Al-A’rof ayat 36
úïÏ%©!$#ur (#qç/¤x. $uZÏG»t$t«Î/ (#rçy9õ3tFó$#ur
!$pk÷]tã
y7Í´¯»s9'ré& Ü=»ysô¹r& Í$¨Y9$#
( öNèd $pkÏù tbrà$Î#»yz
ÇÌÏÈ
dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan
menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal
di dalamnya
Tafsir Surah Al-A’rof ayat 36
Ayat ini menerangkan
bahwa ada pula manusia yang tak mau percaya kepada ayat-ayat Allah. Bukan saja
tidak percaya, tetapi ditentangnya setiap rasul yang datang membawa ayat-ayat
Allah dengan sombong dan angkuh. Menurut anggapan mereka tidaklah pantas mereka
dipimpin oleh seorang rasul yang kurang kemuliaannya, kurang kekayaannya dan
kurang umurnya dari mereka. Seperti halnya pemuka-pemuka suku Quraisy terhadap
Nabi Muhammad saw. yang dengan sombong dan takabur menentang Nabi, tidak mau
percaya kepadanya dan tidak mau mengikutinya. Sebab mereka menganggap merekalah
yang lebih berhak jadi pemimpin, seperti Abu Jahal, Abu Sufyan dan lain-lain.
Mereka itu menganggap dirinya lebih mulia dari Nabi Muhammad saw. Begitu pula
pemimpin-pemimpin Yahudi tidak mau percaya atas kerasulan Nabi Muhammad saw.
karena bukan dari golongan Bani Israil tetapi hanya seorang nabi dari golongan
Arab. Raja-raja dan pemimpin-pemimpin Majusi juga begitu, tidak mau menerima
kerasulan Nabi Muhammad saw. pada permulaannya karena mereka memandang hina
terhadap orang Arab. Tetapi akhirnya banyak juga di antara mereka masuk agama
Islam, di samping banyak pula yang membangkang, ingkar menolak sama sekali
kerasulan Nabi dengan secara sombong. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni
neraka buat selama-lamanya.
3. Surah Al-Azhab Ayat 21
ôs)©9 tb%x.
öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé&
×puZ|¡ym
`yJÏj9 tb%x. (#qã_öt ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sur ©!$#
#ZÏVx.
ÇËÊÈ
Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
a.
Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu
Katsir menjelaskan, ayat ini adalah dasar yang paling utama dalam
perintah meneladani Rasulullah Saw, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun
keadaannya. Oleh karena itu, Allah Ta'ala menyuruh manusia untuk meneladani
Rasulallah Saw dalam hal kesabaran, keteguhan, ribath (terikat dengan tugas,
komitmen), dan kesungguh-sungguhannya.
Ayat ini turun semasa Perang
Ahzab ketika ada anggota pasukan Islam yang yang takut, goncang, dan hilang
keberaniannya pada perang Ahzab. Allah menyuruh orang demikian meneladani Nabi
Saw dalam kesabaran dan keteguhan membela agama Allah.
Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman
kepada orang-orang yang tergoncang jiwanya, gelisah, gusar dan bimbang dalam
perkara mereka pada hari Ahzaab,
ôs)©9 tb%x.
öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé&
×puZ|¡ym
(“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu.”) yaitu, mengapa kalian tidak mencontoh dan mensuritauladani
sifat-sifatnya? Untuk itu Allah berfirman: liman kaana yarjullaaHa wal
yaumal aakhira wa dzakarallaaHa katsiiraa (“yaitu bagi orang-orang yang mengharap
rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”)
Intinya, umat Islam harus
meneladani Rasul termasuk dalam keadaan takut atau menghadapi ujian. Ayat di
atas terkait dengan QS. Al-Baqarah:214. Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang dimaksud
adalah firman Allah dalam Surah al-Baqarah:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu
akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya
orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan
kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga
berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya
pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.”
(al-Baqarah: 214). Yaitu, inilah apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya berupa
ujian dan cobaan yang membawa pertolongan yang amat dekat.”
b.
Tafsir Jalalain:
Pada ayat ini Allah SWT
memperingatkan orang-orang munafik. bahwa sebenarnya mereka dapat memperoleh
teladan yang baik dari Nabi Saw. Rasulullah Saw adalah seorang yang kuat
imannya, berani, sabar, tabah menghadapi segala macam cobaan, percaya dengan
sepenuhnya kepada segala ketentuan-ketentuan Allah dan beliaupun mempunyai
akhlak yang mulia.
Jika mereka bercita-cita ingin
menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan di akhirat,
tentulah mereka akan mencontoh dan mengikuti Nabi. Tetapi perbuatan dan tingkah
laku mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mengharapkan keridaan Allah dan
segala macam bentuk kebahagiaan hakiki itu.[9]
4. Surah An-Nur Ayat 30-31
@è% úüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäót ô`ÏB
ôMÏdÌ»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù
4 y7Ï9ºs 4s1ør&
öNçlm; 3
¨bÎ) ©!$# 7Î7yz $yJÎ/
tbqãèoYóÁt
ÇÌÉÈ @è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9
z`ôÒàÒøót ô`ÏB £`ÏdÌ»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù wur
úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ)
$tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎôØuø9ur
£`ÏdÌßJè¿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãã_
( wur úïÏö7ã £`ßgtFt^Î wÎ)
ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&
ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä ÆÎgÏGs9qãèç/
÷rr& ÆÎgͬ!$oYö/r&
÷rr& Ïä!$oYö/r& ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ ÆÎgÏRºuq÷zÎ)
÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr&
÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr&
$tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷r&
Írr& úüÏèÎ7»F9$# Îöxî Í<'ré&
Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$#
Írr& È@øÿÏeÜ9$# úïÏ%©!$# óOs9
(#rãygôàt
4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# (
wur tûøóÎôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/
zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøä `ÏB £`ÎgÏFt^Î 4
(#þqç/qè?ur
n<Î)
«!$# $·èÏHsd
tmr& cqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 cqßsÎ=øÿè?
ÇÌÊÈ
31. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang
demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang mereka perbuat".
32. Katakanlah kepada wanita yang
beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan
janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari
padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah
Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau
ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka,
atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki
mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam,
atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti
tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah,
Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
Tafisir
Surah An-Nur Ayat 30-31
Ayat ini dan ayat selanjutnya berpesan kepada pria
dan wanita beriman untuk menjaga kehormatan dan rasa malu dalam hubungan sosial
mereka demi mencegah meluasnya penyimpangan akhlak dalam masyarakat. Pada hakikatnya, mata manusia dapat menyaksikan banyak hal dari
jarak jauh dan dengannya manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di
sekelilingnya. Tapi pandangan manusia ini harus dikontrol, bukannya melihat apa
saja yang dapat disaksikannya.
Ayat ini secara umum mengatakan bahwa pria beriman hendaknya
menguasai matanya dan tidak melihat apa yang dibenci Allah. Sesuai dengan
sejumlah riwayat yang menjadi penerapan ayat ini adalah memandang perempuan
yang bukan muhrim. Artinya, tidak memandang perempuan non muhrim karena itu
haram hukumnya secara mutlak dan bila mereka menutupi dirinya, maka hanya
dibolehkan melihat wajahnya sesuai kebutuhan dan tidak disertai motivasi ingin
menikmati serta tidak untuk ingin main mata.
Dalam ayat ini, sekalipun pada awalnya menjelaskan bagaimana manusia
mengontrol matanya, tetapi pada dasarnya ingin mengajarkan bagaimana manusia
mengontrol anggota badannya dari segala bentuk syahwat. Dalam masyarakat modern
saat ini, sudah begitu menyebar gaya hidup hedonis dan hubungan seksual dengan
pelbagai bentuknya antara pria dan wanita. Fenomena penyimpangan seksual ini
memunculkan banyak masalah keluarga dan penyakit kelamin. Sementara dalam
pandangan Islam, hubungan antara pria dan wanita hanya diperbolehkan dalam
kerangka pernikahan dan di luar pernikahan maka segala bentuk hubungan seksual
menjadi haram hukumnya.
Akhir ayat ini member peringatan kepada semua manusia, khususnya
orang-orang Mukmin agar tidak pernah berpikiran bahwa pandangan mereka tidak
diketahui oleh Allah Swt. Karena bukan saja pandangan, tapi motivasi manusia
dalam memandang sesuatu juga diketahui oleh-Nya. Allah mengetahui apa yang
dilakukan manusia, baik bentuk lahiriahnya maupun batinnya.
Pada ayat sebelumnya Allah mengeluarkan dua perintah: mengontrol
mata dan syahwat, maka pada ayat ini giliran wanita yang diperintahkan untuk
mengontrol dua hal itu. Tapi ayat ini kemudian memberikan penekanan terhadap
tiga hal untuk melindungi wanita dari pandangan tidak baik. Pertama adalah
memakai jilbab yang menutup kepala, leher hingga dada. Kedua, menyembunyikan
perhiasan seperti anting-anting, kalung dan gelang dihadapan pria non muhrim.
Ketiga, perempuan ketika berjalan tidak menjejakkan kaki ke tanah yang dapat
menarik perhatian orang lain.
Jelas bahwa gaya bertutur, berlaku dan berpakaian perempuan dan
laki-laki sangat berpengaruh bagi kebaikan hubungan sosial, menjaga kehormatan
dan rasa malu. Itulah mengapa dari satu sisi Allah mengharamkan pandangan yang
tidak layak dan di sisi lain melarang penampilan perempuan di tengah masyarakat
agar tidak memamerkan sesuatu yang dapat menggerakkan nafsu orang lain.
Menyaksikan secara sekilas apa yang terjadi di
dunia saat ini menunjukkan di Barat yang memiliki slogan kebebasan wanita
sebenarnya yang ditargetkan adalah kebebasan hubungan seksual dan ketelanjangan
perempuan. Itupun agar para lelaki dapat memuaskan nafsu seksualnya. Sementara
dampak hubungan sejenis ini selalu meletakkan anak gadis dan wanita menjadi
obyek pemuasan nafsu, bunuh diri dan aborsi.
Dengan mencermati dampak negatif hubungan seksual seperti ini, maka
pada dasarnya kebebasan seksual tidak lebih dari kemanfaatan perempuan demi
memuaskan hawa nafsu pria. Sesuai dengan ajaran agama, pria dan wanita yang
menjaga dirinya hanya melakukan hubungan seksual dengan suami atau istrinya.
Dengan demikian lingkungan masyarakat menjadi dilingkungan yang sehat dari
segala bentuk daya tarik seksual.
Dari ayat
tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1.
Dalam
mengontrol pandangan dan kesucian diri tidak ada bedanya antara pria dan
wanita. Keduanya berkewajiban untuk menjaganya.
2.
Islam
tidak menentang wanita merias dirinya dan memakai perhiasan, tapi menekankan
agar melakukannya untuk suaminya. Yang dilarang adalah bila mereka berhias dan
hadir bersama pria non muhrim di tengah masyarakat.
3.
Segala
bentuk gaya jalan yang menonjolkan perhiasan wanita yang seharusnya di
sembunyikan hukumnya haram.
4.
Jilbab
merupakan kewajiban yang diperintahkan dalam al-Quran dan batasannya juga telah
ditetapkan.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan
buruk , antara yang terpuji dan yang tercela , tentang perkataan atau perbuatan
manusia lahir dan batin. Maksud dari akhlak itu sendiri adalah adanya hubungan
antara khaliq dan makhluk , dan antara makhluk dengan makhluk. Kita harus
membiasakan diri berakhlak terpuji dalam kehidupan sehari hari agar semuanya
berjalan sesuai dengan perintah dan larangan dari Allah Swt.
B.
Saran
Sebagai seorang mahasiswa, alangkah lebih baik jika kita mempelajari
materi tentang akhlak dari berbagai sumber, baik dari buku maupun situs
internet. Agar nantinya kita mudah dalam memahami dan kita akan lebih mudah
dalam penulisan makalah kedepannya. Dalam penulisan makalah ini kami menyadari
banyka kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian maupun penulisan kalimat.
Oleh karena itu,kami sebagai penulis makalah ini meminta kritik dan saran
sehingga kedepannya kami dapat menulis makalah ini dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Nurasmawi. 2011. Buku Ajar Aqidah Akhlak,
Pekanbaru : Yayasan Pusaka Riau Anwar
Rajab, Khairunnas. 2012. Agama Kebahagian.Yogyakarta :
Pustaka Pesantren Ritonga
Rahman. 2005.Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia : Amelia
Surabaya
Anwar, Rosihon.2010. Akhlak Tasawuf. Bandung.: CV Pustaka
Setia.
Zainuddin dan Muhammad Jamhari. 1999. Muamalah dan Akhlak,
CV. Bandung: Pustaka Setia.
Mahmud, Ali Abdul Hamid. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani
Press
Nata, Abuddin.2011.Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Sihab, m.quraisih. 2002. Tafsir
Al-Mishbah (pesan,kesan dan keserasian al-qur’an). jakarta : lentera hati
Muhali, a. Majab. 2002. Asbabun
nuzul ( setudi pendalaman al-qur’an surah al-baqarah – an nas ). Jakarta :
PT Raja Grafindo Persada.
Muhammad al-aliyyul. 1999. qadir li
ikhtishari tafsir ibnu katsir, Cet 1. Jakarta : gema insani press.