Kamis, 11 Mei 2017

AYAT-AYAT TENTANG AHLAK



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang keesaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut.
Timbulnya kesadaran akhlak dan pendirian manusia terhadap-Nya adalah pangkalan yang menentukan corak hidup manusia. Akhlak, atau moral, atau susila adalah pola tindakan yang didasarkan atas nilai mutlak kebaikan.Hidup susila dan tiap-tiap perbuatan susila adalah jawaban yang tepat terhadap kesadaran akhlak, sebaliknya hidup yang tidak bersusila dan tiap-tiap pelanggaran kesusilaan adalah menentang kesadaran itu.   Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Dalam dunia hewan tidak ada hal yang baik dan buruk atau patut tidak patut, karena hanya manusialah yang mengerti dirinya sendiri, hanya manusialah sebagai subjek menginsafi bahwa dia berhadapan pada perbuatannya itu, sebelum, selama dan sesudah pekerjaan itu dilakukan. Sehingga sebagai subjek yang mengalami perbuatannya dia bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya itu.      
B.       Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian dari akhlak?
  1. Bagaimana konsep akhlak dalam kehidupan?
  2. Bagaimana urgensi akhlak dalam kehidupan?
C.      Tujuan
  1. Untuk mengetahui pengertian akhlak
  2. Untuk mengetahui konsep akhlak dalam kehidupan
  3. Untuk mengetahui urgensi akhlak dalam kehidupan sehari-hari















BAB II
PEMBAHASAN
A.      PengertianAkhlak
Kata “akhlak” (Akhlaq) berasal dari   bahasa Arab,merupakan bentuk jamak dari ”khuluq” yang menurut bahasa berarti budi pekerti,perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan kata”khalq” yang berarti kejadian.Ibnu ‘Athir menjelaskan bahwa khuluq adalah gambaran batin manusia yang sebenarnya (yaitu jiwa dan sifat-sifat batiniah),sedang khalq merupakan gambaran bentuk jasmaninya (raut muka, warna kulit,tinggi rendah badan, dan lain sebagainya). Kata khuluq sebagai bentuk tunggal dari akhlak.[1] Kata akhlak juga dapat kita temukan dalam hadis yang sangat populer yang diriwayatkan oleh Imam Malik, yang artinya:”Bahwasanya aku (Muhammad) diutus tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia”;.[2] Secara terminologis, terdapat beberapa definisi akhlak yang dikemukakan oleh para ahli. Ahmad Amin mendefinisikan akhlak sebagai”kehendak yang dibiasakan”. Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa akhlak adalah “sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan”. Sedangkan Abdullah Darraz mengemukakan bahwa akhlak adalah “suatu kekuatan dalam kehendak yang mantap yang membawa kecendrungan kepada pemilihan pada pihak yang benar (akhlak yang baik) atau pihak yang jahat (akhlak yang buruk)”. Selanjutnya menurut Abdullah Darraz,perbuatan-perbuatan manusia dapat dianggap sebagai manifestasi dari akhlaknya, apabila memenuhi dua syarat, yaitu :
  1. Perbuatan perbuatan itu dilakukan berulang kali dalam bentuk yang sama, sehingga menjadi suatu kebiasaan bagi pelakunya.
  2. Perbuatan-perbuatan itu dilakukan karena dorongan jiwanya, bukan karena adanya tekanan dari luar,seperti adanya paksaan yang menimbulkan ketakutan atau bujukan dengan harapan mendapatkan sesuatu.
Disamping istilah “akhlak”,kita juga mengenal istilah “etika” dan ‘moral”. Ketiga istilah itu sama-sama menentukan nilai baik dan buruk dari sikap dan perbuatan manusia.Perbedaannya terletak pada standar masing-masing.[3] Akhlak standarnya adalah Al-Qur’an dan Sunnah.Sedangkan etika standarnya pertimbangan akal pikiran,dan moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat
B.       Konsep Akhlak
Dari beberapa pengertian tersebut diatas,dapat disimpulkan bahwa akhlak adalah tabiat atau sifat seseorang,yakni keadaan jiwa yang telah terlatih,sehinnga dalam jiwa tersebut benar-benar telah melekat sifat-sifat yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan spontan,tanpa dipikirkan dan diangan-angankan terlebih dahulu. Hal itu tidak berarti bahwa perbuatan tersebut dilakukan dengan tidak sengaja atau tidak dikehendaki.Hanya saja karena yang demikian itu dilakukan berulang-ulang sehingga sudah menjadi kebiasaan,maka perbuatan itu muncul dengan mudah tanpa dipikir dan dipertimbangkan lagi. Sebenarnya akhlak itu sendiri bukanlah perbuatan,melainkan gambaran batin (jiwa) yang tersembunyi dalam diri manusia.[4] Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa akhlak adalah nafsiyah (sesuatu yang bersifat kejiwaan/abstrak),sedangkan bentuknya yang kelihatan berupa tindakan (mu’amalah) atau tingkah laku (suluk) merupakan cerminan dari akhlak tadi. Seringkali suatu perbuatan dilakukan secara kebetulan tanpa adanya kemauan atau kehendak,dan bisa juga perbuatan itu dilakukan sekali atau beberapa kali saja,atau barangkali perbuatan itu dilakukan tanpa disertai ikhtiar (kehendak bebas) karena adanya tekanan atau paksaan. Maka perbuatan-perbuatan tersebut diatas tidak dapat dikategorikan sebagai akhlak. Sebagai contoh, seseorang tidak dapat dikatakan berakhlak dermawan,apabila perbuatan memberikan hartanya itu dilakukan hanya sekali atau dua kali saja,atau mungkin dia memberikan itu karena terpaksa (disebabkan gengsi atau dibawah tekanan) yang sebenarnya dia tidak menghendaki untuk melakukannya,atau mungkin untuk memberikan hartanya itu dia masih merasa berat sehingga memerlukan perhitungan dan pertimbangan.Padahal factor kehendak ini memegang peranan yang sangat penting,karena dia menunjukkan adanya unsur ikhtiar dan kebebasan,sehingga suatu perbuatan bisa disebut perbuatan akhlak.[5]

C.      Urgensi Akhlak Dalam Kehidupan
Aspek – aspek ajaran islam, baik aqidah, ibadah mu’amalah bagi setiap muslim ketiganya merupakan aspek – aspek yang bersifat taklifi (kewajiban) yang harus dilaksanakan. Sejarah membuktikan bahwa semua aspek ajaran tersebut tidak dapat terlaksana tanpa adanya akhlak yang baik. Dari sini dapat dipahami bahwa akhlak merupakan pilar yang sangat penting dalam Islam.Akhlak yang mulia adalah pertanda kematangan iman serta merupakan kunci kesuksesan hidup di dunia dan akhirat.[6] Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir diutus oleh Allah untuk mengemban misi penyempurnaan akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu.
Manusia mempunyai kecendrungan untuk berbuat baik dan buruk. Biasanya orang bertakwa akan berbuat dan bersikap baik dan mengutamakan akhlak mulia, perbuatan baik merupakan wujud kemuliaan akhlaknya, sedangkan perbuatan baik akan menghapus perbuatan-perbuatan buruk. Pencerminan diri seseorang juga sering digambarkan melalui tingkah laku atau akhlak yang ditunjukkan.[7] Bahkan akhlak merupakan perhiasan diri bagi seseorang karena orang yang berakhlak jika dibandingkan dengan orang yang tidak berakhlak tentu sangat jauh perbedaannya.
D.      Ayat yang menjelaskan tentang Akhlak
1.      Surah al-israa’ ayat 37
Ÿwur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB ( y7¨RÎ) `s9 s-̍øƒrB uÚöF{$# Æs9ur x÷è=ö6s? tA$t6Ågø:$# ZwqèÛ ÇÌÐÈ  
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.
Taafsir surah al-israa’ ayat 37
Allah berfirman seraya melarang hamba-hamba-Nya berjalan dengan penuh kesombongan dan keangkuhan:
Ÿwur Ä·ôJs? Îû ÇÚöF{$# $·mttB (
(“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong.”) Yakni, dengan penuh keangkuhan seperti jalannya orang-orang sombong.
y7¨RÎ) `s9 s-̍øƒrB uÚöF{$#
(“Karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi.”) Maksudnya, kamu tidak akan bisa memotong bumi dengan jalanmu itu.
Æs9ur x÷è=ö6s? tA$t6Ågø:$# ZwqèÛ
 (“Dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.”) Yakni dengan lenggak-lenggok, keangkuhan, dan kebanggaanmu pada diri sendiri. Bahkan, tidak jarang pelaku hal itu akan memperoleh kebalikan dari apa yang diharapkan.
Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih: “Ketika pada masa sebelum kalian, ada seseorang berjalan dengan mengenakan dua pakaian pada tubuhnya. la menyombongkan diri dengan kedua pakaian itu, tiba-tiba ia ditelan oleh bumi, sedang ia terus menjerit-jerit sampai hari Kiamat kelak.”
Selain itu, Allah juga memberitahukan tentang Qarun, di mana ia keluar menemui kaumnya dengan menggunakan perhiasannya, dan bahwasanya Allah Tabaaraka wa Ta ala menenggelamkannya dan juga tempat tinggalnya ke dalam bumi.[8]

2.      Surah Al-A’rof ayat 36
  šúïÏ%©!$#ur (#qç/¤x. $uZÏG»tƒ$t«Î/ (#rçŽy9õ3tFó$#ur !$pk÷]tã y7Í´¯»s9'ré& Ü=»ysô¹r& Í$¨Y9$# ( öNèd $pkŽÏù tbrà$Î#»yz ÇÌÏÈ  
dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, mereka itu penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya
Tafsir Surah Al-A’rof ayat 36
Ayat ini menerangkan bahwa ada pula manusia yang tak mau percaya kepada ayat-ayat Allah. Bukan saja tidak percaya, tetapi ditentangnya setiap rasul yang datang membawa ayat-ayat Allah dengan sombong dan angkuh. Menurut anggapan mereka tidaklah pantas mereka dipimpin oleh seorang rasul yang kurang kemuliaannya, kurang kekayaannya dan kurang umurnya dari mereka. Seperti halnya pemuka-pemuka suku Quraisy terhadap Nabi Muhammad saw. yang dengan sombong dan takabur menentang Nabi, tidak mau percaya kepadanya dan tidak mau mengikutinya. Sebab mereka menganggap merekalah yang lebih berhak jadi pemimpin, seperti Abu Jahal, Abu Sufyan dan lain-lain. Mereka itu menganggap dirinya lebih mulia dari Nabi Muhammad saw. Begitu pula pemimpin-pemimpin Yahudi tidak mau percaya atas kerasulan Nabi Muhammad saw. karena bukan dari golongan Bani Israil tetapi hanya seorang nabi dari golongan Arab. Raja-raja dan pemimpin-pemimpin Majusi juga begitu, tidak mau menerima kerasulan Nabi Muhammad saw. pada permulaannya karena mereka memandang hina terhadap orang Arab. Tetapi akhirnya banyak juga di antara mereka masuk agama Islam, di samping banyak pula yang membangkang, ingkar menolak sama sekali kerasulan Nabi dengan secara sombong. Mereka itulah yang akan menjadi penghuni neraka buat selama-lamanya.

3.      Surah Al-Azhab Ayat 21
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym `yJÏj9 tb%x. (#qã_ötƒ ©!$# tPöquø9$#ur tÅzFy$# tx.sŒur ©!$# #ZŽÏVx. ÇËÊÈ  
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.

a.     Tafsir Ibnu Katsir
Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan, ayat ini adalah dasar yang paling utama dalam perintah meneladani Rasulullah Saw, baik dalam perkataan, perbuatan, maupun keadaannya. Oleh karena itu, Allah Ta'ala menyuruh manusia untuk meneladani Rasulallah Saw dalam hal kesabaran, keteguhan, ribath (terikat dengan tugas, komitmen), dan kesungguh-sungguhannya.
Ayat ini turun semasa Perang Ahzab ketika ada anggota pasukan Islam yang yang takut, goncang, dan hilang keberaniannya pada perang Ahzab. Allah menyuruh orang demikian meneladani Nabi Saw dalam kesabaran dan keteguhan membela agama Allah.
Untuk itu, Allah Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang tergoncang jiwanya, gelisah, gusar dan bimbang dalam perkara mereka pada hari Ahzaab,   
ôs)©9 tb%x. öNä3s9 Îû ÉAqßu «!$# îouqóé& ×puZ|¡ym
(“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”) yaitu, mengapa kalian tidak mencontoh dan mensuritauladani sifat-sifatnya? Untuk itu Allah berfirman: liman kaana yarjullaaHa wal yaumal aakhira wa dzakarallaaHa katsiiraa (“yaitu bagi orang-orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”)
Intinya, umat Islam harus meneladani Rasul termasuk dalam keadaan takut atau menghadapi ujian. Ayat di atas terkait dengan QS. Al-Baqarah:214. Ibnu ‘Abbas berkata: “Yang dimaksud adalah firman Allah dalam Surah al-Baqarah:
“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat.” (al-Baqarah: 214). Yaitu, inilah apa yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya berupa ujian dan cobaan yang membawa pertolongan yang amat dekat.”

b.     Tafsir Jalalain:
Pada ayat ini Allah SWT memperingatkan orang-orang munafik. bahwa sebenarnya mereka dapat memperoleh teladan yang baik dari Nabi Saw. Rasulullah Saw adalah seorang yang kuat imannya, berani, sabar, tabah menghadapi segala macam cobaan, percaya dengan sepenuhnya kepada segala ketentuan-ketentuan Allah dan beliaupun mempunyai akhlak yang mulia.
Jika mereka bercita-cita ingin menjadi manusia yang baik, berbahagia hidup di dunia dan di akhirat, tentulah mereka akan mencontoh dan mengikuti Nabi. Tetapi perbuatan dan tingkah laku mereka menunjukkan bahwa mereka tidak mengharapkan keridaan Allah dan segala macam bentuk kebahagiaan hakiki itu.[9]
4.      Surah An-Nur Ayat 30-31
@è% šúüÏZÏB÷sßJù=Ïj9 (#qÒäótƒ ô`ÏB ôMÏd̍»|Áö/r& (#qÝàxÿøtsur óOßgy_rãèù 4 y7Ï9ºsŒ 4s1ør& öNçlm; 3 ¨bÎ) ©!$# 7ŽÎ7yz $yJÎ/ tbqãèoYóÁtƒ ÇÌÉÈ   @è%ur ÏM»uZÏB÷sßJù=Ïj9 z`ôÒàÒøótƒ ô`ÏB £`Ïd̍»|Áö/r& z`ôàxÿøtsur £`ßgy_rãèù Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ) $tB tygsß $yg÷YÏB ( tûøóÎŽôØuø9ur £`Ïd̍ßJ胿2 4n?tã £`ÍkÍ5qãŠã_ ( Ÿwur šúïÏö7ム£`ßgtFt^ƒÎ žwÎ)  ÆÎgÏFs9qãèç7Ï9 ÷rr&  ÆÎgͬ!$t/#uä ÷rr& Ïä!$t/#uä  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr&  ÆÎgͬ!$oYö/r& ÷rr& Ïä!$oYö/r&  ÆÎgÏGs9qãèç/ ÷rr& £`ÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/  ÆÎgÏRºuq÷zÎ) ÷rr& ûÓÍ_t/ £`ÎgÏ?ºuqyzr& ÷rr& £`Îgͬ!$|¡ÎS ÷rr& $tB ôMs3n=tB £`ßgãZ»yJ÷ƒr& Írr& šúüÏèÎ7»­F9$# ÎŽöxî Í<'ré& Ïpt/öM}$# z`ÏB ÉA%y`Ìh9$# Írr& È@øÿÏeÜ9$# šúïÏ%©!$# óOs9 (#rãygôàtƒ 4n?tã ÏNºuöqtã Ïä!$|¡ÏiY9$# ( Ÿwur tûøóÎŽôØo £`ÎgÎ=ã_ör'Î/ zNn=÷èãÏ9 $tB tûüÏÿøƒä `ÏB £`ÎgÏFt^ƒÎ 4 (#þqç/qè?ur n<Î) «!$# $·èŠÏHsd tmƒr& šcqãZÏB÷sßJø9$# ÷/ä3ª=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÌÊÈ  
31. Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat".
32. Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah Menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.




Tafisir Surah An-Nur Ayat 30-31
Ayat ini dan ayat selanjutnya berpesan kepada pria dan wanita beriman untuk menjaga kehormatan dan rasa malu dalam hubungan sosial mereka demi mencegah meluasnya penyimpangan akhlak dalam masyarakat. Pada hakikatnya, mata manusia dapat menyaksikan banyak hal dari jarak jauh dan dengannya manusia dapat mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya. Tapi pandangan manusia ini harus dikontrol, bukannya melihat apa saja yang dapat disaksikannya.
Ayat ini secara umum mengatakan bahwa pria beriman hendaknya menguasai matanya dan tidak melihat apa yang dibenci Allah. Sesuai dengan sejumlah riwayat yang menjadi penerapan ayat ini adalah memandang perempuan yang bukan muhrim. Artinya, tidak memandang perempuan non muhrim karena itu haram hukumnya secara mutlak dan bila mereka menutupi dirinya, maka hanya dibolehkan melihat wajahnya sesuai kebutuhan dan tidak disertai motivasi ingin menikmati serta tidak untuk ingin main mata.
Dalam ayat ini, sekalipun pada awalnya menjelaskan bagaimana manusia mengontrol matanya, tetapi pada dasarnya ingin mengajarkan bagaimana manusia mengontrol anggota badannya dari segala bentuk syahwat. Dalam masyarakat modern saat ini, sudah begitu menyebar gaya hidup hedonis dan hubungan seksual dengan pelbagai bentuknya antara pria dan wanita. Fenomena penyimpangan seksual ini memunculkan banyak masalah keluarga dan penyakit kelamin. Sementara dalam pandangan Islam, hubungan antara pria dan wanita hanya diperbolehkan dalam kerangka pernikahan dan di luar pernikahan maka segala bentuk hubungan seksual menjadi haram hukumnya.
Akhir ayat ini member peringatan kepada semua manusia, khususnya orang-orang Mukmin agar tidak pernah berpikiran bahwa pandangan mereka tidak diketahui oleh Allah Swt. Karena bukan saja pandangan, tapi motivasi manusia dalam memandang sesuatu juga diketahui oleh-Nya. Allah mengetahui apa yang dilakukan manusia, baik bentuk lahiriahnya maupun batinnya.
Pada ayat sebelumnya Allah mengeluarkan dua perintah: mengontrol mata dan syahwat, maka pada ayat ini giliran wanita yang diperintahkan untuk mengontrol dua hal itu. Tapi ayat ini kemudian memberikan penekanan terhadap tiga hal untuk melindungi wanita dari pandangan tidak baik. Pertama adalah memakai jilbab yang menutup kepala, leher hingga dada. Kedua, menyembunyikan perhiasan seperti anting-anting, kalung dan gelang dihadapan pria non muhrim. Ketiga, perempuan ketika berjalan tidak menjejakkan kaki ke tanah yang dapat menarik perhatian orang lain.
Jelas bahwa gaya bertutur, berlaku dan berpakaian perempuan dan laki-laki sangat berpengaruh bagi kebaikan hubungan sosial, menjaga kehormatan dan rasa malu. Itulah mengapa dari satu sisi Allah mengharamkan pandangan yang tidak layak dan di sisi lain melarang penampilan perempuan di tengah masyarakat agar tidak memamerkan sesuatu yang dapat menggerakkan nafsu orang lain.
Menyaksikan secara sekilas apa yang terjadi di dunia saat ini menunjukkan di Barat yang memiliki slogan kebebasan wanita sebenarnya yang ditargetkan adalah kebebasan hubungan seksual dan ketelanjangan perempuan. Itupun agar para lelaki dapat memuaskan nafsu seksualnya. Sementara dampak hubungan sejenis ini selalu meletakkan anak gadis dan wanita menjadi obyek pemuasan nafsu, bunuh diri dan aborsi.
Dengan mencermati dampak negatif hubungan seksual seperti ini, maka pada dasarnya kebebasan seksual tidak lebih dari kemanfaatan perempuan demi memuaskan hawa nafsu pria. Sesuai dengan ajaran agama, pria dan wanita yang menjaga dirinya hanya melakukan hubungan seksual dengan suami atau istrinya. Dengan demikian lingkungan masyarakat menjadi dilingkungan yang sehat dari segala bentuk daya tarik seksual.
 Dari ayat tadi terdapat empat poin pelajaran yang dapat dipetik:
1.      Dalam mengontrol pandangan dan kesucian diri tidak ada bedanya antara pria dan wanita. Keduanya berkewajiban untuk menjaganya.
2.      Islam tidak menentang wanita merias dirinya dan memakai perhiasan, tapi menekankan agar melakukannya untuk suaminya. Yang dilarang adalah bila mereka berhias dan hadir bersama pria non muhrim di tengah masyarakat.
3.      Segala bentuk gaya jalan yang menonjolkan perhiasan wanita yang seharusnya di sembunyikan hukumnya haram.
4.      Jilbab merupakan kewajiban yang diperintahkan dalam al-Quran dan batasannya juga telah ditetapkan.[10]












BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk , antara yang terpuji dan yang tercela , tentang perkataan atau perbuatan manusia lahir dan batin. Maksud dari akhlak itu sendiri adalah adanya hubungan antara khaliq dan makhluk , dan antara makhluk dengan makhluk. Kita harus membiasakan diri berakhlak terpuji dalam kehidupan sehari hari agar semuanya berjalan sesuai dengan perintah dan larangan dari Allah Swt.
B.       Saran
Sebagai seorang mahasiswa, alangkah lebih baik jika kita mempelajari materi tentang akhlak dari berbagai sumber, baik dari buku maupun situs internet. Agar nantinya kita mudah dalam memahami dan kita akan lebih mudah dalam penulisan makalah kedepannya. Dalam penulisan makalah ini kami menyadari banyka kekurangan dan kesalahan dalam penyampaian maupun penulisan kalimat. Oleh karena itu,kami sebagai penulis makalah ini meminta kritik dan saran sehingga kedepannya kami dapat menulis makalah ini dengan baik.






DAFTAR PUSTAKA
Nurasmawi. 2011. Buku Ajar Aqidah Akhlak, Pekanbaru : Yayasan Pusaka Riau Anwar
Rajab, Khairunnas. 2012. Agama Kebahagian.Yogyakarta : Pustaka Pesantren Ritonga
Rahman. 2005.Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia : Amelia Surabaya
Anwar, Rosihon.2010. Akhlak Tasawuf. Bandung.: CV Pustaka Setia.
Zainuddin dan Muhammad Jamhari. 1999. Muamalah dan Akhlak, CV. Bandung: Pustaka Setia.
Mahmud, Ali Abdul Hamid. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani Press
Nata, Abuddin.2011.Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sihab, m.quraisih. 2002. Tafsir Al-Mishbah (pesan,kesan dan keserasian al-qur’an). jakarta : lentera hati
Muhali, a. Majab. 2002. Asbabun nuzul ( setudi pendalaman al-qur’an surah al-baqarah – an nas ). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Muhammad al-aliyyul. 1999. qadir li ikhtishari tafsir ibnu katsir, Cet 1. Jakarta : gema insani press.




[1] Nurasmawi. 2011. Buku Ajar Aqidah Akhlak, Pekanbaru : Yayasan Pusaka Riau Anwar. Hal.61
[2] Rajab, Khairunnas. 2012. Agama Kebahagian.Yogyakarta : Pustaka Pesantren Ritonga. Hal.26
[3] Rahman. 2005.Merakit Hubungan dengan Sesama Manusia : Amelia Surabaya. Hal.30
[4] Anwar, Rosihon.2010. Akhlak Tasawuf. Bandung.: CV Pustaka Setia. Hal 109
[5] Zainuddin dan Muhammad Jamhari. 1999. Muamalah dan Akhlak, CV. Bandung: Pustaka Setia hal.69
[6] Mahmud, Ali Abdul Hamid. Akhlak Mulia. Jakarta: Gema Insani Press. Hal.39
[7] Nata, Abuddin.2011.Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.83
[8] Muhammad al-aliyyul. 1999. qadir li ikhtishari tafsir ibnu katsir, Cet 1. Jakarta : gema insani press. Hal.59
[9] Ibidd.. hal  840-841
[10] Muhali, a. Majab. 2002. Asbabun nuzul ( setudi pendalaman al-qur’an surah al-baqarah – an nas ). Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.