Dalam pasal 49 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa Peradilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam dalam bidang :
- Perkawinan
- Kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan
- Wakaf dan shadaqoh
Masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam menjadi salah satu faktor pendorong berkembangnya hukum
Islam di Indonesia, khususnya yang berkaitan dengan muamalah. Lembaga-lembaga ekonomi
syari’ah tumbuh berkembang mulai dari lembaga perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pasar modal syari’ah, dan pegadaian syari’ah. Perkembanagan ini
tentunya juga berdampak pada perkembangan sengketa atau konflik dalam
pelaksanaannya. Selama ini apabila terjadi konflik dalam bidang ekonomi
syari’ah harus melalui peradilan umum. Menyadari hal ini, maka dalam
Undang-Undang No. 3 tahun 2006 atas perubahan UU No. 7 tahun 1989 maka ruang
lingkup Peradilan Agama diperluas ruang lingkup tugas dan wewenang
Pengadilan Agama Yaitu :
- Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :
- Perkawinan
- Kewarisan
- Wasiat
- Hibah
- Wakaf
- Zakat
- Shadaqah
- Infaq, dan
- Ekonomi syari’ah
Dalam penjelasan pasal 49 disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan ekonomi syari’ah adalah :
- Bank syari’ah
- Asuransi syari’ah
- Reasuransi syari’ah
- Reksadana syari’ah
- Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah
- Sekuritas syari’ah
- Pembiayaan syari’ah
- Pegadaian syari’ah
- Dana pensiun lembaga keuangan syari’ah
- Bisnis syari’ah, dan
- Lembaga keuangan mikro syari’ah
- Diberikan tugas dan wewenag penyelesaian sengketa hak milik atau keperdataan lainnya.
Dalam pasal 50 UU No. 7 tahun 1989
disebutkan bahwa dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan
lain daalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka
khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih
dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Demi terbentuknya
pengadilan yang cepat dan efesien maka pasal 50 UU No.7 tahun 1989 diubah
menjadi dua ayat yaitu : Ayat (1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau
sengketa lainnya dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khususnya
mengenai obyek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Umum, ayat (2) Apabila terjadi sengketa hak milik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang subyek hukumnya antara
orang-orang yang beragama Islam, obyek sengketa tersebut diputus oleh
Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.
Tujuan diberinya wewenang tersebut kepada Pengadilan Agama adalah untuk
menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu penyelesaian sengketa
karena alasan aadanya sengketa hak milik atau keperdataan lainnya tersebut yang
sering dibuat oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya gugatan di
Peradilan Agama
Pasca amandemen UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama menjadi UU No.3 Tahun 2006 dapat dimakanai sebagai politik
hkum ekonomi syariah dengan cara memperluas kewenangan Pengadilan Agama.Dalam
hal ini Peradilan agama memiliki kewenagan untuk menyelesikan sengketa ekonomi
syariah secara ligitasi atau peradilan formal.Amandemen tidak hanya
memperluas kewenagan ,tetapi juga memberikan ruang lingkup yang jelas tentang
sengketa ekonomi tidak hanya sebatas masalah perbankan saja ,tetapi meliputi
lembaga keuangan mikro syariah,asuransi syariah,reasuransi syariah,reksadana
syariah,obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah menengah
syariah,sekuritas syariah,pembiayaan syariah,pegadaian syariah,dana pensiun
lembaga keuangan syariah.
Dengan di syahkannya Kompilasi
Hukum ekonomi syariah dengan Peraturan Mahkamah Agung ( PERMA ) No.2
Tahun 2008 dan di Undangkannya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan
syariah pada tanggal 16 juli 2008 mendapat perhatian dari masyarakat pencari
keadilan berkaitan dari persoalan ekonomi syariah yang di cantumkan dalam
undang-undang No.21 Tahun 2008 tentang perbankan syariah adalah berkenaan
dengan penyelesaian sengketa Perbankan syariah. Pasal 55 UU No.21 tahun 2008
menyatakan :
- Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama.
- Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 ),penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan akad.
- Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat ( 2 ) tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
4.
Peradilan Agama diatur
dalam UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah dirubah
dengan UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama UU No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang .
5.
Dalam undang-undang ini
diatur susunan, kekuasaan, hukum acara, dan kedudukan hakim serta segi-segi
administrasi pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
6.
Kekuasaan kehakiman di
lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh:
a.
Pengadilan Agama;
b.
Pengadilan Tinggi
Agama.
Pengadilan Agama berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota. Pegadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibukota
propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi tetapi tidak menutup
kemungkinan adanya pengecualian. Pengadilan Agama merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan Pengadilan Tingkat Banding.
Peradilan Agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman berpuncak ke Mahkamah
Agung.
Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan
perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud “antara orang yang beragama Islam ”
adalah orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan
suka rela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan
Agama.
Dalam Negara
Hukum Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945, keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam sistem dan
penyelenggaraan hukum merupakan hal pokok yang sangat penting dalam usaha mewujudkan
suasana perikehidupan yang aman, tenteram, dan, tertib seperti yang diamanatkan
dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Oleh karena
itu, untuk mewujudkan hal-hal tersebut dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas
untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan
dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan hukum dalam mencapai keadilan,
kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum adalah badan-badan peradilan
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempunyai
lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu dan salah
satunya adalah Badan Peradilan Agama.
Peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar hukum Badan Peradilan Agama sebelum
Undang-undang ini adalah:
a.
Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura (Staatsblad 1882 Nomor 152 dan Staatsblad 1937 Nomor 116 dan Nomor 610);
b.
Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan
Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad
1937 Nomor 638 dan Nomor 639);
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99).
Keragaman dasar hukum Peradilan Agama tersebut
mengakibatkan beragamnya pula susunan, kekuasaan, dan hukum acara Peradilan
Agama.
Dalam rangka penerapan Wawasan Nusantara di
bidang hukum yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai sumber dari
segala sumber hukum, maka keragaman tersebut perlu segera diakhiri demi
terciptanya kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem
dan tata hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945.
Untuk mewujudkan peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970 diperlukan adanya perombakan yang bersifat mendasar terhadap
segala peraturan perundang-undangan yang mengatur Badan Peradilan Agama
tersebut di atas dan menyesuaikannya dengan Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang merupakan induk dan kerangka
umum serta merupakan asas dan pedoman bagi semua lingkungan peradilan.
Dengan demikian, Undang-undang yang mengatur
Susunan, Kekuasaan, dan Hukum Acara Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama
ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas yang tercantum dalam
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951).
Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan
Agama, dalam Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama yang berpuncak pada
Mahkamah Agung, sesuai dengan prinsip-prinsip
yang ditentukan oleh Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dalam Undang-undang ini diatur susunan,
kekuasaan, hukum acara, kedudukan para Hakim, dan segi-segi administrasi lain
pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama.
Pengadilan Agama merupakan pengadilan tingkat
pertama untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
wakaf, dan shadaqah berdasarkan hukum Islam.
Bidang perkawinan yang dimaksud di sini adalah
hal-hal yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan
siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksanaan pembagian harta peninggalan
tersebut, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan hukum Islam.
Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak
sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan
dipergunakan dalam pembagian warisan.
Dalam rangka mewujudkan keseragaman kekuasaan
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama di seluruh wilayah Nusantara, maka
oleh Undang-undang ini kewenangan Pengadilan Agama di Jawa dan Madura serta
sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur mengenai perkara kewarisan yang
dicabut pada tahun 1937, dikembalikan dan disamakan dengan kewenangan
Pengadilan Agama di daerah-daerah yang lain.
Pengadilan Tinggi Agama merupakan pengadilan
tingkat banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Agama dan
merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai sengketa mengadili
antar-Pengadilan Agama di daerah hukumnya.
.Mengingat luasnya lingkup tugas dan beratnya
beban yang harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya perhatian yang
besar terhadap tata cara dan pengelolaan administrasi Pengadilan. Hal ini
sangat penting, karena bukan saja menyangkut aspek ketertiban dalam
menyelenggarakan administrasi, baik di bidang perkara maupun kepegawaian, gaji,
kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-lain, tetapi juga akan mempengaruhi
kelancaran penyelenggaraan Peradilan itu sendiri. Oleh karena itu,
penyelenggaraan administrasi Peradilan dalam Undang-undang ini dibedakan
menurut jenisnya dan dipisahkan penanganannya, walaupun dalam rangka koordinasi
pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada seorang pejabat, yaitu Panitera yang
merangkap sebagai Sekretaris.
Selaku Panitera, ia menangani administrasi
perkara dan hal-hal administrasi lain yang bersifat teknis peradilan
(yustisial). Dalam pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang Wakil
Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris, ia menangani administrasi
umum seperti administrasi kepegawaian dan sebagainya. Dalam pelaksanaan
tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.
Dengan demikian, staf Kepaniteraan dapat
memusatkan perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim dalam bidang
peradilan, sedangkan tugas administrasi yang lain dapat dilaksanakan oleh staf
Sekretariat.
Hakim adalah unsur yang sangat penting dalam
penyelenggaraan peradilan. Oleh karena itu, maka syarat-syarat pengangkatan dan
pemberhentian serta tata cara pengangkatan dan pemberhentiannya diatur dalam
Undang-undang ini.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
selaku Kepala Negara atas usul Menteri Agama berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Agar Pengadilan sebagai penyelenggara Kekuasaan
Kehakiman bebas dalam memberikan keputusan, perlu adanya jaminan bahwa, baik
Pengadilan maupun Hakim dalam melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh
Pemerintah dan pengaruh yang lain.
Agar tugas penegakan hukum dan keadilan itu
dapat dilaksanakan oleh Pengadilan, maka dalam Undang-undang ini dicantumkan
persyaratan yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim, seperti bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak
tercela.
Untuk memperoleh hal tersebut di atas maka
dalam setiap pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaikan pangkat, tindakan
atau hukuman administrasi terhadap Hakim Pengadilan Agama perlu adanya
kerjasama, konsultasi, dan koordinasi antara Mahkamah Agung dan Departemen
Agama.
Agar para pejabat peradilan tidak mudah
dipengaruhi baik moril maupun materiil, maka perlu adanya pengaturan tersendiri
mengenai tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan, khususnya
para Hakim;
demikian pula mengenai kepangkatan dan gajinya.
Untuk lebih mengukuhkan kehormatan dan
kewibawaan Hakim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian) para
Hakim dengan diadakannya syarat-syarat tertentu untuk menjadi Hakim yang diatur
dalam Undang-undang ini.
Selain itu, diadakan juga larangan-larangan
bagi para Hakim untuk merangkap jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan
pengadilan, wali, pengampu, dan setiap jabatan yang bersangkutan dengan suatu
perkara yang akan atau sedang diadili olehnya.
Namun, belum cukup hanya dengan memerinci
larangan-larangan seperti tersebut di atas. Agar Peradilan dapat berjalan
dengan efektif, maka Pengadilan Tinggi Agama diberi tugas pengawasan terhadap
Pengadilan Agama di dalam daerah hukumnya. Hal ini akan meningkatkan koordinasi
antar-Pengadilan Agama dalam daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi Agama, yang
pasti akan bermanfaat dalam kesatuan putusan yang dijatuhkan, karena Pengadilan
Tinggi Agama dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberikan teguran,
peringatan, dan petunjuk. Kecuali itu, perbuatan dan kegiatan Hakim secara
langsung dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana, cepat, dan
dengan biaya ringan akan terjamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan sangkaan
keras, bahwa Hakim melakukan perbuatan tercela, melakukan kejahatan dan
kelalaian yang terus menerus dalam menjalankan tugas pekerjaannya, dapat
mengakibatkan bahwa ia diberhentikan tidak dengan hormat oleh Presiden selaku
Kepala Negara setelah diberi kesempatan membela diri.
Hal itu dicantumkan dengan tegas dalam
Undang-undang ini, mengingat luhur dan mulianya tugas Hakim, sedangkan dalam
kedudukannya sebagai pegawai negeri, baginya tetap berlaku ancaman-ancaman
terhadap perbuatan tercela sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (Lembaran
Negara Tahun 1980 Nomor 50).
Undang-undang ini selain mengatur susunan dan
kekuasaan juga mengatur Hukum Acara Peradilan Agama.
Bagaimanapun sempurnanya lembaga peradilan itu
dengan penataan susunan organisasinya dan penegasan kekuasaannya, namun apabila
alat untuk dapat menegakkan dan mempertahankan kekuasaannya itu belum jelas,
maka lembaga peradilan tersebut tidak akan dapat melaksanakan fungsi dan
tugasnya dengan baik. Oleh karena itu maka pengaturan Hukum Acara Peradilan
Agama itu sangat penting dan karenanya pula maka sekaligus diatur dalam
Undang-undang ini.
Hukum Acara Peradilan Agama selama ini masih
terdapat dalam berbagai peraturan dan surat edaran, baik dalam Staatsblad,
Peraturan Pemerintah, Surat Edaran Mahkamah Agung dan Departemen Agama maupun
dalam Undang-undang Perkawinan dan segala peraturan pelaksanaannya.
Prinsip-prinsip pokok peradilan yang telah
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, antara lain ketentuan bahwa
sidang pengadilan harus terbuka untuk umum, setiap keputusan dimulai dengan
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan dan ketentuan-ketentuan yang lain, dalam
Undang-undang ini lebih ditegaskan dan dicantumkan kembali.
Karena Peradilan Agama merupakan peradilan
khusus dengan kewenangan mengadili perkara-perkara tertentu dan untuk golongan
rakyat tertentu sebagaimana yang ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, yaitu mengenai perkara perdata tertentu
antara orang-orang yang beragama Islam, maka hukum acara perdata pada Peradilan
Umum oleh Undang-undang ini dinyatakan berlaku pada Pengadilan dalam Lingkungan
Peradilan Agama, kecuali mengenai hal-hal yang secara khusus diatur oleh
Undang-undang ini.
Peradilan Agama adalah salah satu dari empat
lingkungan peradilan negara yang dijamin kemerdekaannya dalam menjalankan
tugasnya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Peradilan Agama yang kewenangannya mengadili
perkara-perkara tertentu dan mengenai golongan rakyat tertentu, yaitu mereka
yang beragama Islam, sejajar dengan peradilan yang lain. Oleh karena itu,
hal-hal yang dapat mengurangi kedudukan Peradilan Agama oleh Undang-undang ini
dihapus, seperti pengukuhan keputusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri.
Sebaliknya untuk memantapkan kemandirian Peradilan Agama oleh Undang-undang ini
diadakan Juru Sita, sehingga Pengadilan Agama dapat melaksanakan keputusannya
sendiri, dan tugas-tugas kepaniteraan dan kesekretariatan tidak terganggu oleh
tugas-tugas kejurusitaan.
a.
bahwa Negara Republik Indonesia, sebagai negara
hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan
mewujudkan tata kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib;
b.
bahwa untuk mewujudkan tata kehidupan tersebut
dan menjamin persamaan kedudukan warga negara dalam hukum diperlukan upaya
untuk menegakkan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum yang
mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat;
c.
bahwa salah satu upaya untuk menegakkan
keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum tersebut adalah melalui
Peradilan Agama sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman;
d.
bahwa pengaturan tentang susunan, kekuasaan,
dan hukum acara pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama yang selama ini
masih beraneka karena didasarkan pada :
1.
Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan
Madura (Staatsblad Tahun 1882 Nomor 152 dihubungkan dengan Staatsblad Tahun
1937 Nomor 116 dan 610);
2.
Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan
Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad
Tahun 1937 Nomor 638 dan 639);
3.
Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957
tentang Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar'iyah di Luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99). perlu segera diakhiri demi terciptanya
kesatuan hukum yang mengatur Peradilan Agama dalam kerangka sistem dan tata
hukum nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
4.
bahwa sehubungan dengan pertimbangan tersebut,
dan untuk melaksanakan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur susunan, kekuasaan, dan hukum acara pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama;